Menyambut KEK

Sulawesi Utara (Sulut) masuk Masterplan Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (MP2EI). Berbagai fasilitas wah,

Editor: Dheny Irwan Saputra
zoom-inlihat foto Menyambut KEK
dok
Tribun Manado

Sulawesi Utara (Sulut) masuk Masterplan Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (MP2EI). Berbagai fasilitas wah, segera dibangun seperti sarana pendukung Jalan Tol Manado-Bitung dan International Hub Port (IHP) di Bitung.

Untuk menjadikan ekonomi Sulut cepat tumbuh, pemerintah pusat bahkan telah menetapkan Kawasan Ekonomi Khusus atau KEK di kota yang dikenal multidimensi tersebut.

Menjadi kawasan ekonomi cepat tumbuh bukan saja menjadi peluang bagi masyarakat, tapi sebagai tantangan bersama warga Nyiur Melambai. Serba mewahnya sarana dan prasarana yang disiapkan pemerintah pusat maupun daerah akan dipakai untuk apa? Tentunya memperlancar aktivitas perdagangan (ekspor-impor) di kawasan ini.

Beragam komoditas andalan seperti kelapa dan turunannya, perkebunan, pertanian, perikanan, dan hortikultura serta beberapa sektor seperti pertambangan akan lebih mudah menembus pasar internasional. Sebaliknya, kita harus siap-siap kebanjiran barang dari luar negeri seperti Cina, Korea, Jepang, Amerika, dan Eropa.

Muncul pertanyaan sudah siapkan sumber daya alam yang kita miliki bersaing di pasar internasional? Perlu kajian ahli. Namun beberapa persoalan sumber daya alam kita cenderung mengkhawatirkan.

Contoh paling teranyar, petani di Kota Tomohon yang menghindar menanam sayuran kol. Alasannya, dalam dua tahun terakhir, hotikultura ini selalu diserang hama.

“Sayur kol di sini tidak mengenal musim. Namun dua tahun terakhir, warga masih trauma gagal panen seperti pengalaman dua tahun terakhir,” kata Daud Pangemanan, petani sayur Tomohon kepada Tribun Manado, belum lama ini.

Menurut Daud, normalnya sayur kol saat dipanen biasanya memiliki berat 2 3 kilogram tapi ketika diserang hama dan penyakit, kini beratnya berkurang drastis, bahkan ada yang tinggal empat ons.

“Jika sudah diserang penyakit, maka petani pasti rugi besar, sebab kol yang dipanen tak memiliki harga jual yang kompetitif di pasaran. Misalnya biasa dijual Rp 50 ribu per karung, kini tinggal Rp 15 ribu saja per karung. Artinya, tak bisa menutupi ongkos sekali masa tanam yang mencapai Rp 5 juta, mulai dari membeli bibit, pupuk, pengangkutan hasil, hingga menyewa orang kerja. Jadi, tak ada untung sama sekali, malahan merugi trus,” jelasnya.

Nasib apes petani kol Tomohon juga dirasakan petani kelapa. Selain harga kopra yang anjlok (Rp 4000-an per kg), produksi perkebunan kelapa sudah jauh berkurang akibat usia tua maupun terserang hama. Kondisi kurang menguntungkan ini dirasakan kurang lebih 70 persen dari jumlah penduduk Sulut yang menyandarkan kehidupannya dari hasil kopra.

Tak kalah rumit sektor perikanan tangkap. Mahalnya ongkos melaut (bahan bakar minyak) ditambah makin jauhnya area tangkapan ikan tak jarang membuat nelayan “gulung tikar”. Misalnya di Amurang, Minahasa Selatan belum lama ini. Beberapa nelayan terpaksa alih profesi jadi pedagang lantaran sektor ini selain berisiko (keamanan cuaca buruk), juga tidak menguntungkan lagi.

Kita jangan mengesampingkan berapa fakta yang dialami petani dan nelayan tadi. Perlu segera mencarikan solusi jangka pendek, menengah, dan panjang, jika tak mau Sulut hanya dijadikan pasar internasional.

Sebagai kawasan ekonomi cepat tumbuh, seharus siap perang di sektor perdagangan. Peningkatan sumber daya manusia dan alam harus berbarengan menyambut KEK. Tidak ada kata terlambat untuk meningkatkan produksi pertanian, perkebunan, dan perikanan. (*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved