Aksi “Koboi” Oknum Polisi
NAAS benar nasib Bachudin. Hanya gara-gara menolak ketika diminta hormat oleh Briptu W, oknum anggota
NAAS benar nasib Bachudin. Hanya gara-gara menolak ketika diminta hormat oleh Briptu W, oknum anggota Korp Brimob Kelapa Dua Jakarta, Satpam di Ruko Galaxi No.30-31 Blok L Komplek 1000 Ruko Cengkareng, Jakarta Barat itu meregang nyawa setelah dadanya ditembus timah panas dari pistol milik Briptu W di depan tempat kerjanya.
Sebelum kejadian penembakan, pelaku melintas di lokasi kejadian. Dia menghampiri korban yang Satpam di Ruko itu, dan menegur. Karena Satpam ini tidak hormat, pelaku emosi dan menyuruh Satpam push up. Karena merasa tidak bersalah dan tak ada hubungan kerja, dia menolak permintaan sang Brimob ‘koboi’ itu. Di luar dugaan, oknum Brimob ini langsung mengacungkan pistol dan menembak Bachrudin.
Usai melakukan aksinya, Briptu W langsung menyerahkan diri kepada kesatuan Brimob dan mengakui kesalahannya telah bertindak di luar kendali, serta siap bertanggungjawab untuk diperiksa dengan ketentuan berlaku. Selanjutnya oleh atasannya, Briptu W diserahkan kepada penyidik Polres Jakarta Barat untuk diproses lebih lanjut.
Aksi arogansi Briptu W itu menambah daftar aksi kekerasan yang dilakukan oknum kepolisian terhadap warga sipil sekaligus mencoreng institusi Polri.
Kalangan DPR RI sangat menyesalkan aksi koboi oknum polisi tersebut. Anggota Komisi III DPR RI, Gede Pasek Suardika menilai, aksi penembakan sembarangan itu terjadi karena lemahnya pengawasan internal Brimob. Brimob kan tinggal di markas, semestinya ketika keluar markas harus juga terpantau aktivitasnya.
Ulah brutal Briptu W menurut anggota Komisi Hukum dari Fraksi Demokrat itu menjadi bukti kurang disiplinnya anggota Brimob dan kacaunya pengawasan internal Brimob. Seharusnya ada sistem yang tegas dalam memantau setiap gerak-gerik anggota Brimob yang ada di dalam atau di luar markas.
Untuk mencegah para anggota Brimob tidak menembak secara sembarangan, seperti disarankan Ketua DPR RI, Marzuki Alie diperlukan adanya tes kejiwaan secara berkala. Sebelum diberikan senjata polisi dites terlebih dahulu kondisi kejiwaannya apakah yang bersangkutan kuat secara mental untuk memegang senjata dan akan digunakan sesuai tujuannya.
Kita prihatin dan mengecam keras aksi brutal oknum aparat tersebut. Senjata api yang seharusnya digunakan aparat kepolisian untuk melumpuhkan penjahat bila membahayakan masyarakat dan anggota Polri, justru digunakan untuk hal-hal sepele. Polisi diberikan senjata tentunya untuk melindungi rakyatnya, bukan malah untuk melukai rakyatnya.
Aksi main tembak itu sedikit banyak disebabkan oleh sikap pemerintah yang terlalu permisif terhadap keberadaan senjata api di kalangan sipil. Dan tidak pernah ada kebijakan untuk memberantasnya secara total. Di sisi lain, Polri kurang serius dalam mengatasi aksi-aksi penembakan. Selain itu, hukuman terhadap polisi ‘koboi’ terlampau rendah.
Karena itu insiden tercela itu harus menjadi instrospeksi Polri, khususnya Kapolri Sutarman agar memberikan peringatan keras kepada jajarannya untuk tidak sembarangan menggunakan senjata api, dan menyeleksi ulang anggota yang berhak membawa senjata api.
Jangan sampai senjata api disalahgunakan untuk gagah-gagahan dan arogansi di lapangan. Pengawasan terhadap izin membawa senjata api bagi anggota Polri harus dievaluasi kembali.
Polri juga harus memproses hukum sesuai prosedur. Prinsipnya, setiap warga negara sama di hadapan hukum, tidak terkecuali aparat penegak hukum. Terhadap anggota Polri yang melakukan pidana murni seperti Briptu W, yakni menghilangkan nyawa warga sipil yang tak bersalah, sudah tentu hukuman tidak sekadar etik sampai tingkat pemecatan saja, tapi harus diberikan hukuman yang setimpal. Proses persidangan terhadap oknum ‘koboi; itu juga harus dilakukan secara transparan. (*)