Musibah Hukum
ADA dua demo besar yang terjadi menjelang akhir 2013 ini. Pertama, demo buruh di seluruh Indonesia dengan satu tuntutan
BANJARMASINPOST.CO.ID - ADA dua demo besar yang terjadi menjelang akhir 2013 ini. Pertama, demo buruh di seluruh Indonesia dengan satu tuntutan: naikkan upah minimum sampai lebih dari 50 persen.
Kedua, demo para dokter dengan tuntutan: bebaskan dr Dewa Ayu Sasiary Prawani dan rekan-rekannya yang kini meringkuk dalam tahanan setelah Mahkamah Agung (MA) menjatuhkan vonis 10 bulan penjara.
Ayu dan kedua rekannya dianggap lalai saat mengoperasi pasien yang hendak melahirkan, Julia Fransiska Makatey, 10 April 2010 di RS RD Kandau Malayang, Manado, Sulut. Pasien itu meninggal usai operasi. Saat ini, Ayu tengah mengajukan Peninjauan Kembali (PK).
Terkait itulah, Rabu 28 November 2013 kemarin, para dokter serentak mogok kerja dan demo di seluruh Indonesia. Mereka menuntut Ayu dkk dibebaskan.
Dengan emosi tinggi para doktermenggelar demo. Maklum ini menyangkut profesi. Kalau kesalahan saat menjalankan profesi dikriminalisasi, tentu profesi tidak bisa dijalankan secara baik. Dokter tidak akan maksimal menangani pasien karena ada perasaan waswas.
Kalau demo buruh menyebabkan kemacetan dan perusahaan berhenti berproduksi, demo dokter memacetkan pelayanan pasien di berbagai rumah sakit. Banyak pasien telantar. Di Sumba Timur ada pasien yang merangkak ke WC dan melahirkan bayinya sendiri Baru setelah itu ada tenaga paramedis yang menolong. Di Kudus, Jateng, pasien yang mau melahirkan juga tidak mendapat pertolongan. Banyak lagi kasus serupa di berbagai pelosok tanah air.
Tidak buruh, tidak pula dokter. Kalau sedang marah sulit mendengar orang lain, atasannya sekalipun. Menkes Nafsiah Mboy sebenarnya sudah menginstruksikan peemogokan dokter tidak sampai mengganggu pelayanan pada masyarakat. Tapi apa yang terjadi?
Siapa pun akan prihatin melihat kemarahandokter karena tidak ada yang bisa menggantikan profesinya. Beda dengan buruh, boleh mogok selamanya karena banyak yang bisa menggantikan.
Seorang pengamat menuturkan, sebenarnya kasus seperti yang dialami Ayu tak perlu sampai ke pengadilan kalau saja ada komunikasi yang baik antara pasien (keluarganya) dan dokter.
Komunikasi ini memang menjadi salah satu hal yang sering dikeluhkan pasien. Banyak dokter yang terbuka mau menjelaskan kepada pasien tentang penyakitnya. Tapi ada yang tertutup, apalagi kalau harus melayani banyak pasien.
Jadi masih seperti zaman dulu, pasien melihat dokter seperti malaikat. Angker, menakutkan, apalagi jarum suntiknya. Pasien hanya tahu keluar ruang dokter dengan membawa secarik resep obat, tak tahu penyakitnya.
***
Masih ingat kasus Prita Mulyasari? Dia pasien RS Omni Internasional Jakarta yang diseret ke pengadilan. Pasalnya dia menulis keluhannya saat dirawat di RS kepada temannya, lewat internet. Itu dianggap sebagai tindakan kriminal.
Prita dilaporkan ke polisi dan kasusnya sampai pengadilan. Prita mendapat dukungan dari masyarakat sampai akhirnya bebas. Awal dari itu semua juga karena kurangnya komunikasi antara Prita denganRS dan dokter.
Banyaknya pasien yang pergi berobat ke luar negeri khususnya Singapura rasanya bukan karena dokter di dalam negeri tidak mampu. Dokter-dokter kita cukup hebat, peralatan canggih tidak kurang, RS kelas internasional bertebaran.