Perajin Mulai Tipiskan Tahu
Perajin tahu dan tempe di Kalsel kembali ‘menjerit’. Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar membuat harga kedelai impor meroket.
BANJARMASINPOST.CO.ID, BANJARBARU - Perajin tahu dan tempe di Kalsel kembali ‘menjerit’. Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar membuat harga kedelai impor meroket. Saat ini harganya pada kisaran Rp 8.500 hingga Rp 9.000 per kilogram, dari harga normal Rp 6.500 ribu per kilogram.
Mereka sangat mencemaskan jika harga kedelai kembali menembus Rp 10 ribu per kilogram. Apabila itu terjadi, akan banyak perajin yang harus ‘istirahat’. Mogok produksi bakal terulang seperti September 2013 lalu.
“Kalau terjadi kenaikan Rp 500 saja, kami sudah harus ‘ganti’ harga. Sekarang ini kenaikannya sudah tinggi sekali. Sudah kritis,” kata Sunarko yang memiliki usaha pembuatan tahu di Guntung Payung, Banjarbaru, Kamis (5/10).
Dia mengungkapkan, sebelum naik menjadi Rp 9.000, harga kedelai mencapai Rp 7.500. Saat itu dia mematok harga tahu produksinya, Rp 35 ribu per papan. Saat ini, dia mengaku terpaksa menaikkan harganya menjadi Rp 50 ribu per papan.
Meski demikian, Sunarko mengaku belum terjadi penurunan pembelian secara drastis. Tiap hari dia masih memproduksi tahu dan tempe sekitar 200 kilogram, dengan bahan baku kedelai antara lima hingga enam ton.
“Kalau harga kedelai sampai Rp 10 ribu itu sudah masuk hitungan rugi. Tak bisa lagi diusahakan. Akan banyak yang tutup, mungkin termasuk saya juga,” ucap dia.
Kondisi serupa dialami perajin tahu di Tapin. Untuk bisa terus berproduksi termasuk menggaji pekerja, mereka mulai menipiskan ketebalan tahu. Seperti yang dilakukan pemilik pabrik tahu di Banua Halat, Langgeng. Dia mengaku, ketebalan tahu matang yang biasanya sekitar 2 sentimeter dikurangi menjadi 1,5 sentimeter dengan harga sama.
Langgeng mengaku masih bisa mendapatkan kedelai seharga Rp 8.500 per kilogram. Karena itu dia dia menaikkan harga tahu matang produksinya menjadi Rp 23 ribu per papan dari Rp 19 ribu per papannya. Sementara untuk tahu mentah dia menjual seharga Rp 36 ribu per papan atau naik Rp 9 ribu.
“Naiknya harga kedelai sudah terjadi selama beberapa bulan. Harapan kami, pemerintah bisa mengembalikan seperti tahun lalu, Rp 6 ribu per kilogram. Saat ini produksi saya turun drastis akibat kenaikan harga itu. Biasanya, setiap hari 1,5 ton, sekarang menjadi 840 kilogram. Ya, turun sekitar 40 persen,” tegas dia.
Kondisi serupa dialami Madiaman yang memiliki usaha perajinan tahu di Jalan Sutoyo S, Banjarmasin. Menurut dia, satu-satunya jalan untuk bisa bertahan adalah menaikkan harga jual.
“Sekarang per papan tahu, saya jual Rp 50 ribu. Untuk produksi, tetap seperti biasa sekitar 60 kilogram sehari,” ujarnya.
Menanggapi tetap tingginya harga kedelai, peneliti dari CSIS (Center for Strategic & International Studies) Jakarta, Haryo Aswicahyono mengatakan kondisi itu lebih dikarenakan kesalahan pemerintah, bukan hanya karena faktor eksternal yakni anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Menurut dia, kedelai merupakan tanaman subtropis yang tidak cocok dikembangkan di seluruh wilayah Indonesia, sehingga jalan satu-satunya untuk memenuhi konsumsi kedelai dalam negeri --sekitar 2,5 juta ton per tahun-- harus melalui impor.
Namun, pemerintah malah membuat kebijakan membatasi impor dengan tujuan untuk swasembada kedelai. Dampaknya, pasokan tidak mencukupi karena produksi nasional hanya 700-800 ton per tahun.
“Karena pembatasan tersebut, impor kedelai menjadi tidak lancar sehingga harga melambung. Lagipula ini bukan kali pertama arga kedelai naik. Jauh sebelum nilai tukar rupiah anjlok, kedelai juga sudah pernah naik,” kata dia.
Selain tidak bisa menetapkan kebijakan yang tepat soal kedelai, Haryo juga menilai kesalahan pemerintah yang lain adalah tidak mampu meningkatkan produksi kedelai dalam negeri sesuai tujuan pemerintah yakni menciptakan swasembada pangan.
(sar/him/ee/oon/tbn)