Coretan Ketatanegaraan
Tenggelamnya Ideologi Parpol
PADA Saling Silang Bincang dua buku yang ditulis oleh Kanda Mujiburrahman bertajuk Sentilan
Oleh: Rifqinizamy Karsayuda
PADA "Saling Silang Bincang" dua buku yang ditulis oleh Kanda Mujiburrahman bertajuk "Sentilan Kosmopolitan" dan buku "Mimpi Jadi Caleg" Karya Fransisca Ria Susanti dan Kristin Samah, Jumat lalu di Aula Lantai 5 Banjarmasin Post, Saya berujar tentang semakin pudar dan bertukarnya ideologi partai-partai politik kita.
Adalah penelitian yang dilakukan oleh Jhonson Tan (2008) yang dipublikasikan oleh Institute of Southeast Asia Studies (ISEAS), National University of Singapore (NUS), yang memberikan petunjuk perihal itu.
Tan dalam publikasinya menyatakan, rasio deferensiasi (derajat perbedaan) pilihan dari 80% pemilih dalam Pemilu ke Pemilu semakin terbelah ke banyak partai politik.
Jika pada 1955, 80% suara pemilih terkonsentrasi pada 4 partai politik, maka pada Pemilu 1999 setelah reformasi digelar, 80% suara pemilih itu terbelah ke 5 partai politik.
Pemilu 2004 terus membelah ke 7 partai politik. Pada Pemilu 2014 ini, berdasarkan beberapa riset yang digelar 6 hingga 4 bulan jelang 9 April yang akan datang, diprediksi 80% suara pemilih akan dibagi pada 9 dari 12 partai politik.
Terbelahnya pilihan mayoritas pemilih dalam Pemilu itu bisa dimaknai dalam banyak hal. Selain soal tak adanya partai tunggal yang dapat menguasai mayoritas suara pemilh, hingga dapat menjadi single majority party.
Pada pihak yang lain, hal itu dapat pula dimaknai sebagai semakin "cairnya" alasan pemilih untuk menentukan partai mana yang akan ia pilih pada pemilu ke pemilu.
Cairnya pilihan publik itu terkoreksi dengan data, bahwa pemenang Pemilu pada level nasional, bahkan di tiap-tiap lokal selalu berganti-ganti saban Pemilu digelar. Tahun 1999 PDI-Perjuangan menang di tingkat nasional, tetapi pada 2004 posisinya digantikan Golkar dan kini Partai Demokrat.
Namun dari perspektif lain, kenyataan itu dapat pula memberi makna bahwa ideologi partai sebagai dasar dari platform partai-partai politik kita semakin memudar, bahkan cenderung bertukar.
Saat ini sulit mencari pembeda, mana partai dengan ideologi nasionalis atau partai dengan ideologi agama misalnya.
Partai yang dalam AD/ART nya menegaskan diri sebagai partai nasionalis, dalam kegiatan partainya cenderung mencitrakan diri sebagai partai religius dengan menggelar banyak kegiatan keagamaan.
Festival Maulid Habysi, umrah gratis hingga memberi bantuan bagi guru mengaji dan para ustadz, justru dilakukan partai-partai nasionalis. Sebaliknya, partai-partai berbasis ideologi agama, justru semakin mencitrakan diri sebagai partai nasionalis, melalui isu dan pencitraan.
Tampilan pimpinan partai berbasis agama tak melulu identik dengan kopiah dan surban seperti masa lalu. Kini jas dan blazer dengan paduan celana jeans justru menjadi pilihan. Kehendak sebagian kelompok agama untuk menutup THM di Kota ini misalnya, tak pernah menjadi agenda serius partai-partai berbasis agama di DPRD Kota, kendati jumlah mereka signifikan.
Semua partai akhirnya terjebak pada kecenderungan selera mayoritas masyarakat. Apa yang diinginkan publik kemudian dijadikan kegiatan-kegiatan partai. Sebagian partai bahkan hanya mengikuti arus kehendak ini secara membabi buta, tanpa saringan nilai-nilai ideologi. Publik yang semakin pragmatis memandang partai, disahuti partai dengan kegiatan yang cenderung transaksional dengan berbagai balutan.
Tak mesti membayar kontan suara rakyat, balutannya bisa melalui berbagai festival keagamaan dengan hadiah paket umrah, menghaji-kan pimpinan-pimpinan agama di level lokal yang memiliki pengaruh kuat pada ranah masyarakat bawah dan lain-lain.
Semua untuk satu tujuan, memperbesar pengaruh untuk mendulang suara di Pemilu. Alih-alih partai yang mendidik masyarakat agar tak terus bertransaksi politik. Partai justru menjadi biang masalah soal ini, setidaknya membiarkan bahkan mengikuti kehendak publik. Partai seolah tak berdaya menolak kehendak publik yang mesti dibayar kontan.
Ideologi kemudian menjadi simbol semata di AD/ART atau setidaknya di baliho-baliho caleg dari partai. Ideologi yang mestinya membuat partai dan pemilihnya tercerahkan untuk berpolitik secara bermartabat.
Kecenderungan itu tak berhenti pada cara merebut suara rakyat. Regulasi di ranah kepartaian dan pemilu-pun dibuat untuk menyahuti pragmatisme publik yang semakin menjadi.
Ketentuan perihal kampanye misalnya dibuat dengan amat longgar, hingga memungkinkan mereka melakukan berbagai aktivitas untuk melakukan langkah transaksional.
Larangan perihal politik uang dibuat dalam UU, namun terus dilakukan, karena politik uang didesain hanya dilarang pada saat kampanye. Kampanye yang waktu dan katagorinya dibuat sedemikian rupa agar tak mengganggu agenda politik jual beli. Begitu pula soal dana partai misalnya, ada larangan untuk menggunakan Fraksi di DPR/D dan MPR sebagai alat mengumpulkan dana partai, namun aturan ini tak ada sanksinya dalam UU Parpol kita.
Kenyataannya kini semakin menyeruak, kalau beberapa petinggi partai dan Fraksi di DPR/DPRD menggunakan pengaruhnya untuk mengeruk APBN/D guna menambah pundi partai, kelompok dan rekening pribadinya. Wallahu'alam. (*)