Coretan Ketatanegaraan

Bawaslu Garang, Bawaslu Malang

Saat sama-sama menjadi narasumber dalam Seminar Pemilu yang dilangsungkan di Aula Lantai V Banjarmasin Post

Editor: Dheny Irwan Saputra

Oleh: Rifqinizamy Karsayudha

SAAT sama-sama menjadi narasumber dalam Seminar Pemilu yang dilangsungkan di Aula Lantai V Banjarmasin Post, Sabtu 15 Februari lalu, Ketua Bawaslu Kalsel, Kanda Mahyuni berujar betapa Bawaslu acapkali dalam posisi yang dilematis.

Pada satu pihak, Bawaslu berkomitmen menegakkan aturan kepemiluan secara tegas. Akibatnya pada pihak lain, cara Bawaslu demikian kerap dianggap menyulut kritik secara massif dari kalangan peserta Pemilu. Kritik yang kerap berujung tak proporsional, bahkan disertai ancaman.

Sejenak saya termenung mencermati pernyataan Ketua Bawaslu Kalsel itu. Saya kemudian teringat lebih kurang seminggu lalu, ketika saya ditelpon beberapa jurnalis yang meminta pandangan saya terkait kritik beberapa politisi yang dipanggil Bawaslu akibat kerap "nampang" di media yang dianggap berkampanye oleh Bawaslu.

Para politisi itu protes, lantaran Bawaslu dianggap tak memiliki kewenangan memanggil terlebih memberikan sanksi pada mereka. Bawaslu cukuplah mengawasi lalu melaporkan indikasi pelanggaran pada institusi lain, begitu kata sang jurnalis yang menelpon saya sembari mengutip pula pernyataan beberapa politisi tadi.

Kala itu saya jelaskan porsi kewenangan Bawaslu, termasuk Panwaslu secara proporsional sebagaimana amanah UU No.15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, maupun UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu. Dalam dua UU tersebut, Bawaslu memiliki kewenangan untuk mengawasi seluruh tahapan pemilu dan menyelesaikan sengketa pemilu.

Dalam menjalankan fungsi pengawasannya, Bawaslu mendapatkan data berdasarkan laporan dari masyarakat atau temuan yang mereka dapatkan di lapangan. Laporan dan temuan itu kemudian mereka olah melalui kajian yuridis untuk menentukan layak tidaknya laporan dan pelanggaran itu diteruskan. Jika layak, maka indikasi pelanggaran itu akan bermuara pada tiga jenis pelanggaran. Pelanggaran administrasi, etik dan pidana.

Pelanggaran administrasi yang diyakini oleh Bawaslu direkomendasikan ke KPU untuk menindaklanjuti, termasuk memberikan sanksinya, pelanggaran etik dilanjutkan ke DKPP, sedangkan pelanggaran pidana diteruskan ke Kepolisian.

Dalam kajian yuridis untuk memastikan ada tidaknya indikasi kuat pelanggaran-pelanggaran dimaksud, Bawaslu dapat saja memanggil berbagai pihak, termasuk para politisi yang memprotes hal itu pada para jurnalis di atas. Hanya saja pemanggilan oleh Bawaslu semata dihajatkan untuk memperoleh keterangan, bukan memberikan peringatan, terlebih sanksi. Dua hal yang memang tak diberi ruang pada Bawaslu oleh UU.

Cerita lain terkait kritik keras atas kinerja Bawaslu Kalsel ini pernah pula saya dengar dari rekan-rekan caleg yang atributnya ditertibkan beberapa waktu lalu. Penertiban alat peraga kampanye di jalan-jalan sesungguhnya bukan tugas Bawaslu/Panwaslu.

Bawaslu/Panwaslu hanya pada posisi menyampaikan ruas jalan apa saja yang dilarang untuk memasang alat peraga, bagaimana mekanisme yang sebenarnya dan pada titik mana pelanggaran itu terjadi. Hal itu disampaikan ke Pemda yang memiliki otoritas melalui Satpol PP nya.

Hanya dalam penertiban itu, selain Satpol PP yang menertibkan atribut para caleg, hadir pula Bawaslu/Panwaslu. Kehadiran mereka kendati untuk melakukan supervisi, kadang dimaknai publik sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang, karena dianggap turut serta menertibkan.

Satu kewenangan yang tak diberikan UU pada institusi pengawas Pemilu ini. Dari dua cerita di atas, saya melihat semangat yang luar biasa dari Bawaslu Kalsel untuk bekerja menegakkan aturan. Sayangnya pada level strategi, cara Bawaslu ini kerap tak terkomunikasikan secara baik pada para pihak, termasuk peserta pemilu, KPU, dan unsur masyarakat lainnya.

Niat baik Bawaslu kerap disalah artikan sebagai perbuatan yang 'sok-sok-an", bahkan melanggar kewenangan yang diterapkan oleh ketentuan perundang-undangan. Pada pihak lain kita patut sadar pula, bahwa kultur hukum masyarakat kita tak sepenuhnya mendukung proses-proses penegakan hukum di ranah pemilu.

Sebagai kontestasi politik, pemilu kerap dilakukan oleh para politisi secara barbarian dan pragmatis, jauh dari etik dan moral politik. Celaknya, perilaku ini kerap juga diamini atau setidaknya tak diindahkan oleh aparatur penyelenggara pemilu dan penegak hukum yang semestinya menindak mereka.

Maka, ketika tiba-tiba muncul gaya Bawaslu Kalsel yang "sok repot" atas berbagai perilaku peserta pemilu yang mereka yakini tak sesuai aturan, kita semua tersontak, tak sedikit yang geram dan menghujam.

Bawaslu bukan dimaknai sebagai juru selamat demokrasi, malah dijadikan musuh bersama dengan segala sumpah serapah atas kinerjanya yang dianggap asal dan tak mendasar.

Bawaslu nampaknya perlu memperbaiki pola komunikasi dan strategi pendekatan ke berbagai pihak, agar niat baiknya tak disalah artikan, terlebih dipelintir oleh pihak tertentu yang resisten pada posisi dan kewenangannya. Inilah sepenggal kisah Bawaslu (yang) garang, namun malang. Wallahu'alam. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved