Coretan Ketatanegaraan
Bonnes Moers
ontesquieu adalah satu tokoh penting dalam dunia keilmuan politik dan ketatanegaraan.
Oleh: Rifqinizami Karsayudha
BARON de La Brede et de Montesquieu (1689-1755) yang kerap kita kenal dengan nama Montesquieu adalah satu tokoh penting dalam dunia keilmuan politik dan ketatanegaraan. Ia hidup di zaman pencerahan yang dikenal dengan banyak teori-teori mendobrak dan rekonstruktif. Montesquieu, sebagaimana zaman dimana ia hidup, juga melakukan rekonstruksi atas demokrasi. Demokrasi yang sejatinya bermula dari praktik ketatanegaraan di Yunani Kuno, dimana setiap pengambilan kebijakan publik diputuskan langsung oleh rakyat, dalam kacamata Montesquieu penuh celah menghadirkan ketidakberesan di ranah publik.
Dalam demokrasi, mayoritas adalah kebenaran. Klaim mayoritas kendati mengandung unsur dan permufakatan jahat, akan melumat minoritas. Sebab dalam demokrasi keputusan publik diletakkan di tangan publik itu sendiri. Dan alat ukurnya adalah suara terbanyak. Sementara suara terbanyak belumlah tentu suara terbaik sebagai dasar pengambilan keputusan. Jika sudut pandang ini dibiarkan, bukan tidak mungkin demokrasi justru melahirkan penyalahgunaan, bahkan kesewenang-wenangan. Power tends to corrupts, absolute powers corrupt absolutely, kata Acton, bangsawan Inggris yang postulatnya amat termashur itu.
Demi menghindari penyimpangan demokrasi itu, Montesquieu kemudian membuat satu tulisan yang melahirkan satu teori amat terkenal, Trias Politika. Baginya, demokrasi hanya akan berjalan, jika diantara cabang-cabang kekuasaan negara yang dibentuk secara demokratis itu justru dibatasi kekuasaannya. Pada pihak lain, antar cabang kekuasaan negara itu mesti dibangun mekanisme saling kontrol saling imbang (checks and balances). Dengannya permufakatan jahat bisa diberangus. Lembaga legislatif yang hendak bermufakat jahat dengan meloloskan UU tertentu, bisa dibatalkan UU-nya oleh lembaga yudikatif yang diberi otoritas melakukan uji materiil atas UU. Begitu pun eksekutif yang dengan segala kewenangannya diawasi oleh lembaga legislatif agar kewenangan yang besar itu justru tak melahirkan penyalahgunaan kekuasaan.
Namun, fenomena kekinian menunjukkan fakta yang tak sederhana. Ketika seluruh cabang kekuasaan negara cenderung menyalahgunaan kekuasaannya, di saat yang bersamaan fungsi saling kontrol saling imbang dijalankan juga secara serampangan, bahkan nyaris tak berfungsi. Pada posisi demikianlah, kita nyaris tak lagi percaya pada berbagai institusi negara. Pada ujungnya kita mengeluh akan penerapan demokrasi. Satu sistem yang di satu pihak menjamin hak setiap orang untuk turut serta dalam berpemerintahan, setidaknya dalam proses pembentukannya melalui Pemilu. Namun pada pihak yang lain, demokrasi justru menghadirkan banyak kebobrokan.
Dalam keadaan demikian, orang banyak lupa tentang postulat Montesquieu yang lain, selain Trias Politika. Montesquieu pernah mengingatkan bahwa demokrasi hanya akan mencapai tujuan luhurnya –yakni pemerintahan berbasis rakyat dan dapat memenuhi kebutuhan rakyat, jika satu kelompok manusia (un peuple) punya ideal moral yang baik (bonnes moers)- dan ia menjadi mayoritas di tengah kelompok lain yang berniat memanfaatkan demokrasi sebagai alat keruk pragmatisme.
Postulat Montesquieu perihal bonnes moers ini tampaknya amat relevan bagi kita detik ini. Pemilu kita yang dilaksanakan secara langsung membuka celah bagi kelompok mayoritas manapun untuk berkuasa. Jika mayoritas pemenang Pemilu adalah mereka yang meniatkan diri secara pragmatis memanfaatkan lembaga legislatif untuk kepentingan kelompok dan pribadinya, maka kita tak boleh heran jika hampir seluruh produk legislasi juga bermuara pada kepentingan yang sama. Penyusunan anggaran yang juga melekat kewenangannya pada parlemen kita juga diseret pada kepentingan serupa, anggaran negara untuk bancakan bersama para elit. Akibatnya, angka anggaran seolah besar, namun tak pernah signifikan menyelesaikan berbagai problem di masyarakat.
Bonnes moers kita, perlu kita panggil. Orang-orang baik, tak boleh sekadar mengamati, mengkritik, mencaci, lalu pada titik tertentu menjadi frustasi. Kehendak-kehendak baik untuk membangun negeri ini sesuai dengan tujuan negara, mestinya bersatu, mengkosolidasikan diri. Kemudian memenangkan pertempuran dalam Pemilu yang akan dihelat pada 9 April mendatang. Ketika kehendak-kehendak baik yang menjadi mayoritas, maka Parlemen-pun akan sehat.
Masalahnya, kehendak-kehendak baik masih sedikit jumlahnya, mudah pula tercerai berai, bahkan terkadang memilih apatis, sebagian tak percaya diri menunjukkan kehendak baiknya di tengah arus pragmatisme yang begitu kuat. Bonnes Mooers yang tak pernah terhimpun hanya akan melahirkan Pemilu Indonesia yang cacat bawaan, bahkan sebelum Pemilu itu digelar. Kenyataan yang tampaknya masih akan terjadi di Pemilu ini. Wallahu’alam. (*)