Coretan Ketatanegaraan
Kau Terpilih Kau Ditendang
HARI-hari ini sampai dengan jelang hari-H, 9 April 2014 mendatang, seluruh peserta pemilu menguatkan ikhtiar
Oleh: Rifqinizamy Karsayuda
HARI-hari ini sampai dengan jelang hari-H, 9 April 2014 mendatang, seluruh peserta pemilu menguatkan ikhtiar dan do’anya agar terpilih sebagai anggota Parlemen di berbagai tingkatan. Pemilu kita yang menganut sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak,
membuat setiap caleg memiliki peluang yang sama untuk masuk menjadi anggota Parlemen.
Jika di masa lalu dikenal istilah “calon jadi” dan “calon bayangan”, maka dengan digunakannya alat ukur suara terbanyak untuk menentukan siapa yang akan terpilih, istilah itu tak dikenal lagi. Siapa yang dapat memenuhi suara terbanyak sesuai dengan bilangan
pembagi pemilih (BPP) di dapilnya masing-masing, maka ia akan melenggang menjadi anggota legislatif.
Format pemilu kita demikian seakan ingin memperkokoh asas kedaulatan rakyat yang kita anut dalam Konstitusi kita. Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menegaskan “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. UUD kita memastikan bahwa Pemilu sebagai instrumen kedaulatan rakyat dilaksanakan secara langsung (vide Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945).
Pilihan bangsa kita akan kedaulatan rakyat sebagai asas Konstitusi bukanlah sesuatu yang mengada-ada. Kita tak memilih aliran kedaulatan raja yang banyak berlaku di beberapa negara dengan sistem monarki konstitusional saat ini, atau bahkan aliran kedaulatan Tuhan, sebagaimana dianut beberapa negara lain.
Inggris misalnya, kendati secara periodik menggelar Pemilu, namun tetap mempertahankan asas kedaulatan raja dalam sistem bernegaranya. Pemilu di Inggris akan melahirkan partai pemenang pemilu yang dapat membentuk pemerintahan dan dipimpin oleh seorang perdana menteri. Perdana Menteri yang memiliki otoritas megangkat para menteri itu dihasilkan melaui Pemilu, hanya saja disahkan oleh Ratu sebagai Kepala Pemerintahan.
Dalam beberapa kasus, Ratu Inggris dapat membubarkan pemerintahan di bawah Perdana Menteri, jika Ratu-bersandar pada kewenangannya di Konstitusi-menganggap pemerintahan yang terbentuk dalam Pemilu gagal melaksanakan fungsinya. Kewenangan Ratu untuk membubarkan pemerintahan hasil Pemilu itu mengkonfrmasi posisi Ratu sebagai anak sah dari aliran kedaulatan raja yang dianut Inggris hingga saat ini.
Kedaulatan rakyat hendak memastikan bahwa tak ada seorang-pun di negara ini yang dapat berposisi lebih tinggi dari kehendak rakyat itu, walau yang bersangkutan menjadi Presiden sekalipun. Seluruh warga negara dengannya berkedudukan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan. Posisi yang sama (equal) itulah yang melahirkan Pemilu secara langsung dengan alat ukur suara terbanyak.
Namun ada sisi lain dari praktek demokrasi elektoral kita yang sesungguhnya masih menyisakan ototarianisme yang dalam beberapa kasus dapat mengalahkan kehendak rakyat yang telah diputuskan dalam Pemilu langsung itu.
Salah satunya adalah soal Pergantian Antar Waktu (PAW) Anggota DPR/D yang diatur dalam peraturan perundang-undangan kita. PAW juga acapkali disebut sebagai hak “recall” yang dimilki oleh partai politik atas anggotanya di Parlemen. Dalam ketentuan UU No.27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD dinyatakan bahwa anggota DPR/D berhenti antar waktu, dikarenakan meninggal dunia, mengundurkan diri sebagai anggota atas permintaan sendiri secara tertulis, diusulkan partai politik yang bersangkutan.
Berdasarkan alasan yang ketiga inilah skenario “penyingkiran” anggota Parlemen dari parpol tertentu dapat dilakukan oleh elite parpol yang bersangkutan.
Dalam satu kasus, caleg A dari Partai X terpilih menjadi anggota DPRD, sementara Ketua dan para petinggi Partai X itu sesungguhnya menjagokan caleg B yang notabene adalah orang dekat sang ketua Parpol. Pada posisi sedemikian, amat mungkin caleg A yang telah menjadi anggota legislatif dicari-cari alasannya agar dapat di’recall”, agar caleg B yang suaranya persis di bawah caleg A akan menggantikannya.
Salah satu senjata mujarab yang kerap dilakukan oleh para elite parpol untuk memberhentikan antar waktu anggota legislatif-nya adalah, karena yang bersangkutan kerap tak sejalan dengan kebijakan partai. Wallahu’alam