Coretan Ketatanegaraan
Siap Kalah, Lalu Menggugat
SEBAGAI sebuah kontestasi demokrasi, Pemilu akan menghasilkan pemenang dan mereka yang kurang beruntung.
Oleh: Rifqinizamy Karsayuda
SEBAGAI sebuah kontestasi demokrasi, Pemilu akan menghasilkan pemenang dan mereka yang kurang beruntung. Kompetisi demokrasi yang akan menghasilkan wakil rakyat dengan jumlah yang telah ditentukan oleh UU berdasarkan jumlah kursi di DPR dan DPRD di berbagai tingkatan, hanya menyediakan kursi yang amat terbatas. Konsekwensinya, pemilu akan menyisakan mereka yang kalah dengan kuantitas yang cukup besar.
Tak sedikit dari ribuan caleg saat ini memendam pesimisme untuk terpilih. Banyak alasan untuk itu, misalnya kondisi lapangan yang memerlukan biaya politik yang tak sedikit. Sementara biaya yang dimiliki caleg tak seberapa.
Adapula mereka yang telah berikhtiar kuat memperkenalkan diri ke akar rumput, namun konon tak mendapat respon yang memadai. Mereka ini nampaknya telah sadar bahwa pemilu kali ini tak mengandung peruntungan bagi mereka.
Adapula tipikal caleg yang lain, yaitu caleg yang menjadi tim sukses bagi caleg lainnya. Simbiosis yang dibangun oleh keduanya adalah suara pemilih yang akan digunakan untuk tiga tingkatan pemilihan Parlemen (Pusat, Provinsi dan Kab/Kota) dijadikan satu paket untuk
memilih tiga caleg.
Dari ketiga caleg itu sesungguhnya hanya satu orang caleg yang bekerja menggarap akar rumput, sedangkan caleg pada tingkatan pencalonan yang lebih tinggi biasanya berkewajiban menyediakan biaya politiknya.
Caleg yang bertugas menggarap akar rumput itu biasanya adalah caleg pada level pencalonan terendah, yaitu untuk DPRD Kab/Kota. Caleg-caleg demikian banyak yang sedari awal sadar, bahwa kehadirannya tak lebih seperti tim sukses caleg lain.
Bagi dua tipikal caleg demikian, ketidak terpilihan dalam Pemilu nampaknya tak terlalu masalah. Lantaran mereka sadar sedari awal bahwa peluang mereka rendah.
Namun tak sedikit caleg yang maju dalam Pileg 2014 ini dengan sangat percaya diri, kendati kepercayaan dirinya tak terukur. Caleg-caleg semacam ini bahkan tak pernah tau berapa suara minimal yang mesti dia peroleh untuk memenuhi 100% BPP atau setidaknya 50% BPP.
Mereka juga kadang tak terlalu paham berapa jumlah TPS yang ada di daerah pemilihannya. Siapa saja saksi yang berada di masing-masing TPS, serta bagaimana mekanisme rekapitulasi suara hingga penetapan caleg terpilih berlangsung. Caleg-caleg semacam inilah yang rentan tak menerima kekalahan, namun tak berdaya melakukan langkah perlawanan.
Pemilu, sekali lagi, sebagai sebuah kontestasi demokrasi amat mungkin menghadirkan unfair play dalam pelaksanaannya. Ketidak-fair-an permainan itu bisa hadir dari para peserta pemilu, penyelenggara pemilu atau bahkan pihak lain, semacam birokrasi yang berpihak pada partai politik tertentu.
Situasi ini semakin sulit diatasi lantaran aparat pengawas pemilu jumlahnya amat terbatas. Pada level Pengawas Lapangan yang mengawasi langsung TPS-TPS misalnya, UU No.15 Tahun 2011 hanya memberikan kuota 1-5 orang per desa/kelurahan. Padahal satu kelurahan di Banjarmasin misalnya, jumlah TPS nya bisa mencapai 25-30 buah TPS.
Kesulitan yang mengikuti minimnya jumlah pengawas pemilu itu adalah kesulitan menjadikan berbagai indikasi kecurangan pemilu menjadi alat bukti untuk menyeret ke pengadilan. Banyaknya jumlah relawan pemantau dan saksi dari paserta Pemilu mestinya dapat meminimalisir soal kecurangan ini.
Namun nyatanya, kecurangan yang bersifat sistemik dan massif kerap terjadi. Ini sekali lagi lantaran terjadi persekongkolan dari peserta pemilu, penyelenggara yang kerap pula bertemali dengan birokrasi yang memihak.
Lalu apa yang bisa dilakukan? Pertama : Bagi para caleg semestinya muncul kesadaran bahwa bersiap untuk kalah, jauh lebih baik dari pada bersiap untuk menang.