Coretan Ketatanegaraan

Pemilu dalam Bayang Birokrasi

Selang lima hari pascapelaksanaan Pemilu Legislatif tanggal 9 april 2014 lalu, peta hasil Pileg itu mulai terlihat.

Editor: Dheny Irwan Saputra

Ini belum lagi ditambah dengan keluarga si PNS dimaksud, jika dikalikan dua saja, maka jumlahnya bisa mencapai 20.000 orang. Satu angka yang jika dikonversi menjadi pemilih sama dengan harga 7-10 kursi di DPRD Kabupaten setempat.

Jika jumlah total kursi di Kabupaten itu 30 kursi, maka si Kepala Daerah melalui jaringan birokrasinya akan menyumbang 1/3 jumlah kursi. Skenario ini dapat semakin besar, jika birokrasi di semua tingkatan diminta menjadi “mesin” pemenangan partai, setidaknya di tiap tempat tinggalnya.

Kedua : Kepala daerah dengan segala kewenangan yang dimilikinya dapat membangun posisi tawar dengan masyarakat yang notabene adalah pemilih melalui berbagai program dan kegiatan yang ada pada APBD Kabupaten/Kota.

Satu desa misalnya baru akan dibangunkan jalan beraspal yang dananya sudah dianggarkan di APBD, jika di desa itu suara untuk parpol si Kepala Daerah mendapat lebihdari 50% suara. Jika tidak proyek itu tak digarap dan dananya menjadi Sisa Anggaran yang tak terserap. Ia tetap berada di APBD.

Dua skenario ampuh meningkatkan suara parpol itu, sayangnya tak tersentuh sanksi yuridis dalam UU Kepemiluan kita. UU Pemilu kita hanya mengatur soal larangan PNS ikut serta dalam Kampanye sebagaimana ketentuan Pasal 86 ayat (2) huruf e UU No.8 Tahun 2012. Larangan “memobilisir” PNS jelas tak ada, karena berkaitan dengan hak yang bersangkutan sebagai pemilih untuk memilih parpol tertentu.

Hanya saja hak itu dijalankan boleh jadi akibat “intervensi” struktur birokrasi yang membuat cederanya asas bebas dalam Pemilu kita. Wallahu’alam.

Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved