Coretan Ketatanegaraan
Pemilu dalam Bayang Birokrasi
Selang lima hari pascapelaksanaan Pemilu Legislatif tanggal 9 april 2014 lalu, peta hasil Pileg itu mulai terlihat.
Oleh: Rifqinizamy Karsayuda
Selang lima hari pascapelaksanaan Pemilu Legislatif tanggal 9 april 2014 lalu, peta hasil Pileg itu mulai terlihat. Di tingkat nasional kita terbantu oleh banyaknya lembaga survei yang melakukan hitung cepat atas perolehan suara di tingkat nasional.
Hasilnya PDI Perjuangan diprediksikan akan memperoleh 18.9% dari suara sah nasional, disusul Golkar 14.7% dan Gerindra 13%. Perolehan suara itu akan berkontribusi pada dua hal setidaknya, yaitu: komposisi kursi di DPR RI dan syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden pada Pilpres 9 Juli 2014 mendatang.
Di tingkat lokal-pun, kita setidaknya dapat melihat data rekap suara sementara yang dilansir KPU Kalsel untuk perolehan suara sah di tingkat Provinsi.
Dari tujuh daerah pemilihan yang ada, data yang masuk memang belum signifikan, baru dikisaran 10%. Kendati demikian dari data sementara yang ada, hasil Pileg di Kalsel nampaknya tak berbeda jauh dari pemilu-pemilu sebelumnya.
Sejak 1999, 2004 dan 2009, Posisi tertinggi dalam perolehan suara di Provinsi ini ditempati oleh Partai Golkar. Perebutan nyaris terjadi hanya pada posisi kedua, ketiga dan seterusnya.
Jika pada Pileg 2009 lalu, Keberadaan Partai Golkar diikuti oleh Partai Demokrat, PPP dan PKS, Maka pada tahun 2014 ini keberadaan Demokrat bisa jadi akan digantikan oleh PDI Perjuangan atau PKB yang suaranya cukup signifikan di Provinsi ini.
Terlepas dari hasil sementara yang menempatkan Golkar, PDI P, PPP, PKB dan PKS di Kalsel pada Pileg 2014 ini, ada hal yang menarik untuk dilihat dari fenomena perolehan suara partai-partai itu pada setiap dapilnya yang relatif berkorelasi dengan keberadaan penguasa eksekutif di daerah-daerah itu.
Ambil contoh Partai Golkar misalnya yang memperoleh suara signifikan di Dapil Kalsel 3 yang melingkupi Kabupaten Barito Kuala, dari data sementara Partai Golkar memperoleh 40% suara di Dapil ini.
Begitupula perolehan suara PDI Perjuangan di Dapil Kalsel 6 yang melingkupi Kabupaten Tanah Bumbu dan Kotabaru yang perolehannya lebih kurang 45% suara.
Sebagaimana diketahui, Bupati Barito Kuala adalah Ketua Harian DPD I Partai Golkar Kalsel, sedangkan di Kabupaten Tanah Bumbu, Sang Bupati adalah Ketua Bappilu DPD PDI Perjuangan Kalsel.
Fenomena serupa, kendati angkanya tidak terlalu fantastik juga terlihat dari perolehan kursi di Dapil Kalsel 4 yang melingkupi Kabupaten Tapin, HSS dan HSt. Dua dari tiga kabupaten itu, Kepala Daerahnya berasal dari Partai Golkar, yaitu di Tapin dan HST. Perolehan suara Golkar di Dapil itu mencapai angka 30% lebih, mengalahkan partai-partai lainnya.
Sebagai pembanding adalah perolehan suara PDI Perjuangan di Dapil Kalsel 7 yang melingkupi Kota Banjarbaru dan Kabupaten Tanah Laut yang hampir memperoleh suara 26%. Bupati Tanah Laut dalah Ketua DPC PDI Perjuangan di sana, kendati Kota Banjarbaru relatif menjadi medan pertempuran “aman”, tanpa keberpihakan sang penguasa lokal pada partai tertentu.
Apa yang terjadi atas data di atas? salah satu yang dapat dijadikan dasar adalah “bekerjanya” birokrasi lokal sebagai magnet suara partai politik, tempat dimana sang penguasa setempat berafiliasi. Dalam konteks ini setidaknya ada dua kemungkinan bagaimana
mekanisme birokrasi yang dapat menjadi magnet bagi parpol penguasa.
Pertama : birokrasi diarahkan oleh penguasa daerah untuk menjadi “mesin pemenangan” partai politiknya. Seluruh aparat birokrasi dikerahkan untuk memilih partai sang penguasa. Jumlah PNS daerah tentu tak sedikit, bisa mencapai 5.000-10.000 orang per kabupaten/kota.
Ini belum lagi ditambah dengan keluarga si PNS dimaksud, jika dikalikan dua saja, maka jumlahnya bisa mencapai 20.000 orang. Satu angka yang jika dikonversi menjadi pemilih sama dengan harga 7-10 kursi di DPRD Kabupaten setempat.
Jika jumlah total kursi di Kabupaten itu 30 kursi, maka si Kepala Daerah melalui jaringan birokrasinya akan menyumbang 1/3 jumlah kursi. Skenario ini dapat semakin besar, jika birokrasi di semua tingkatan diminta menjadi “mesin” pemenangan partai, setidaknya di tiap tempat tinggalnya.
Kedua : Kepala daerah dengan segala kewenangan yang dimilikinya dapat membangun posisi tawar dengan masyarakat yang notabene adalah pemilih melalui berbagai program dan kegiatan yang ada pada APBD Kabupaten/Kota.
Satu desa misalnya baru akan dibangunkan jalan beraspal yang dananya sudah dianggarkan di APBD, jika di desa itu suara untuk parpol si Kepala Daerah mendapat lebihdari 50% suara. Jika tidak proyek itu tak digarap dan dananya menjadi Sisa Anggaran yang tak terserap. Ia tetap berada di APBD.
Dua skenario ampuh meningkatkan suara parpol itu, sayangnya tak tersentuh sanksi yuridis dalam UU Kepemiluan kita. UU Pemilu kita hanya mengatur soal larangan PNS ikut serta dalam Kampanye sebagaimana ketentuan Pasal 86 ayat (2) huruf e UU No.8 Tahun 2012. Larangan “memobilisir” PNS jelas tak ada, karena berkaitan dengan hak yang bersangkutan sebagai pemilih untuk memilih parpol tertentu.
Hanya saja hak itu dijalankan boleh jadi akibat “intervensi” struktur birokrasi yang membuat cederanya asas bebas dalam Pemilu kita. Wallahu’alam.