Coretan Ketatanegaraan
Calon Presiden di Tengah Multipartai
Dua minggu terakhir, hampir seluruh porsi utama pemberitaan nasional bicara soal koalisi jelang Pilpres mendatang.
Oleh: Rifqinizamy Karsayuda
Dua minggu terakhir, hampir seluruh porsi utama pemberitaan nasional bicara soal koalisi jelang Pilpres mendatang. Para kandidat calon Presiden beserta partai pendukungnya sibuk mengkonsolidasikan dukungan dalam kontestasi Pilpres 9 Juli 2014 mendatang.
Dukungan oleh partai politik atau gabungan partai politik menjadi keniscayaan, lantaran tak ada satu-pun parpol yang memenuhi ketentuan syarat pengajuan capres dan cawapres.
Pasal 9 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden menegaskan “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh
persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden”.
Koalisi dihajatkan untuk mengusung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana amanah Pasal 9 UU a quo. Koalisi pada saat pencalonan ini bukan hanya memiliki makna admnistratif, melainkan juga memiliki makna soal dari aliran dan ideologi apa saja parpol politik pengusung pasangan presiden dan wakil presiden. Aliran dan ideologi parpol biasanya terkait pula dengan segmentasi kelompok masyarakat mana yang ia wakili selama ini.
Clifford Geertz dalam Bukunya “The Religion of Java” mengklasifikasikan masyarakat Indonesia yang ada di Jawa menjadi tiga bagian, yaitu santri, abangan dan priyayi.
Buku Geertz yang amat popular itu terbit pada 1976, namun sampai hari ini nampaknya masih menemukan konteksnya dalam masyarakat kita.
Kendati riset yang dilakukan Geertz hanya di Pulau Jawa, namun buku itu menjadi referensi penting dalam memetakan masyarakat, termasuk sebagai pemilih dari Pemilu ke Pemilu. Indonesia memang bukan hanya Jawa, namun di tengah ketimpangan demografi kita, Jawa menjadi amat penting. Lebih dari 60% pemilih ada di Pulau ini. Itu artinya, 60% lebih kursi di DPR RI merupakan refresentasi wakil-wakil dari berbagai daerah pemilihan di Pulau
Jawa.
Pada posisi demikian, pemetaan atas pemilih menjadi amat penting dilakukan. Sosok calon Presiden dan Wakil Presiden yang dapat merefresentasikan sebanyak mungkin kelompk-kelompok mayoritas di masyarakat Indonesia akan menjadi pertimbangan utama.
Termasuk di dalamnya parpol mana saja yang memiliki basis kuat di kelompok-kelompok itu, akan menjadi pertimbangan pula dalam koalisi.
Di luar soal administrasi pencalonan dan kalkulasi pemenangan untuk Pilpres, Koalisi yang sekarang sedang digarap oleh parpol-parpol juga berguna sebagai penyangga pemerintahan di lembaga legislatif.
Pada titik ini, ketiadaan parpol yang amat mayoritas menjadikan keniscayaan bagi Presiden terpilih untuk didukung oleh koalisi parpol mayoritas di Parlemen.
Bangunan pemerintahan kita dengan ciri presidensial memang semakin mengental pasca dilakukannya amandemen UUD 1945 lalu. Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung, karenanya ia tak lagi dipilih dan bertanggungjawab kepada MPR sebagaimana masa lalu.
Pada sisi lain, MPR tak lagi punya kewenangan langsung untuk memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden, melainkan mesti melalui mekanisme panjang, mulai dari pendapat yang dikeluarkan oleh DPR, adanya validasi hukum oleh MK hingga sidang paripurna MPR dengan agenda pemakzulan.
Sebaliknya Presiden tak dapat pula memberhentikan Parlemen (DPR dan DPD), karena seluruh anggotanya juga dipilih langsung melalui Pemilu.
Kendati demikia, pada pihak lain berbagai kewenangan konstitusional diberikan pula pada Parlemen. Kewenangan-kewenangan yang kerap “memaksa” pemerintah membangun kompromi dengan DPR.
Pada wilayah ini, jika pemerintah tak didukung oleh mayoritas anggota DPR, maka boleh jadi berbagai kebijakan pemerintah akan terkendala.
Bayangkan saja, jika satu RUU yang akan menjadi landasan hukum terlaksananya program prioritas pemerintahan terganjal lantaran terlampau lama di bahas di DPR, maka program itu pasti akan sulit dilaksanakan.
Akan tambah sulit keadaannya jika RUU yang diajukan pemerintah adalah RUU APBN dan tak disetujui Parleman, maka alamat seluruh program pemerintah akan terbengkalai.
Presiden sebagai Kepala Pemerintahan (eksekutif) yang dipilih langsung oleh rakyat, bagaimanapun akan mempertaruhkan segala reputasinya di hadapan publik.
Pertaruhan itu akan tergadai, jika program-program Presiden terkendala oleh “rumitnya” kehendak DPR yang diisi banyak (multi) partai. Waallahu’alam.