Coretan Ketatanegaraan

Capres Pro-Lokal

HINGAR bingar jelang Pilpres 9 Juli 2014 semakin memuncak dengan telah mendaftarnya dua pasangan

Editor: Dheny Irwan Saputra

Oleh: Rifqinizamy Karsayuda

HINGAR bingar jelang Pilpres 9 Juli 2014 semakin memuncak dengan telah mendaftarnya dua pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden ke KPU RI pada minggu lalu.

Persaingan untuk menduduki kursi Presiden dan Wakil Presiden 2014-2019 sangat sengit dan ketat. Selain hanya diikuti oleh dua pasang kandidat, ketiadaan calon petahana juga memberi pengaruh pada ketatnya kontestasi ini.

Di tengah pemilih yang terkadang masih menjatuhkan pilihannya atas dasar emosional, kedua kandidat capres cawapres menawarkan visi, misi dan program yang mereka susun.

Visi, misi dan program itu tak hanya mereka sodorkan ke KPU RI sebagai syarat administratif, melainkan juga belakangan disebar ke berbagai media massa dan media sosial.

Banyak riset terkait dengan perilaku pemilih memang menempatkan pilihan pemilih atas sosok kandidat jauh lebih mejadi alasan pemilih ketimbang visi, misi dan programnya.

Inilah barangkali yang menjadi alasan mengapa fenomena saling serang sosok antar calon begitu marak belakangan. Serangan itu massif menghiasi ruang publik, hingga publik kadang bingung yang mana yang mengandung unsur kebenaran, atau semua hanya fitnah.

Budaya pemilu seperti ini tentu tak sehat bagi kematangan demokrasi, sekaligus minus unsur pendidikan politik. Idealnya pemilih disuguhkan berbagai program yang ditawarkan, hingga pemilih dapat menjatuhkan piihannya atas dasar program dimaksud. Dalam konteks ini, memublikasikan visi misi dan program yang dilakukan kedua kandidat menjadi sangat berarti.

Jika Jokowi-JK memperkenalkan sembilan program yang mereka sebut dengan Nawa Cita, maka Prabowo-Hatta menawarkan delapan Agenda Nyata.

Kedua pasang capres-cawapres nampaknya meletakkan cara berfikir yang lebih kurang sama untuk mewujudkan Indonesia yang memiliki kedaulatan atau kemandirian. Hanya cara dan prioritasnya yang boleh jadi agak sedikit berbeda.

Tulisan ini saya buat sengaja untuk melihat visi, misi dan program kandidat mana yang menaruh perhatian lebih pada lokal atau daerah.

Mengapa lokal patut mendapat apresiasi? Jawaban sederhanya, karena pembangunan selama ini terlanjur tersentral di Pusat, sedang daerah terpinggirkan.

Paling jauh pembangunan selama ini terpusat di Jawa, hingga memarginalkan luar Jawa, khususnya Indonesia Timur.

Amat mudah memahami mengapa pembangunan tersentral di Jawa, mungkin plus Sumatera dan Bali.

Jawabannya karena lebih dari 70% penduduk Indonesia bermukim di tiga pulau itu, sehingga dengan menggunakan pendekatan kuantitatif, “Kue pembangunan” idealnya juga dihajatkan pada wilayah-wilayah itu.

Kokohnya posisi politik tiga daerah tersebut turut disumbang oleh keberadaan sistem Pemilu proporsional yang menempatkan perwakilan rakyat berdasarkan banyak atau sedikitnya jumlah penduduk di suatu wilayah.

Dengan sistem proporsional itu, maka lebih dari 70% kursi di DPR RI diisi oleh wakil-wakil rakyat yang berasal dari daerah pemilihan di Jawa, Sumatera dan Bali.

Akibatnya, pembahsan kebijakan nasional sedikit banyak di dominir oleh kebutuhan mereka yang memiliki wakil banyak. Inilah rasionalisasi lain mengapa “kue pembangunan” tak kunjung merata.

Pada posisi demikian, visi, misi dan program capres-cawapres menjadi amat berarti. Bagaimanapun, Presiden Re publik Indonesia secara Konstitusional bukan semata Kepala
Negara yang secara simbolistik memimpin negara yang majemuk ini.

Di jabatan yang sama, ia juga merupakan Kepala Pemerintahan. Dengan dua posisi di satu jabatan itu, kedudukan Presiden dalam ranah Ketatanegaraan menjadi sangat signifikan.

Dari kedua visi, misi dan program capres-cawapres itu, harus saya akui, Nawa Cita Jokowi-JK lebih vulgar mengungkapkan pentingnya membangun daerah.

Program ketiga mereka menyatakan ; membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.

Sedangkan dalam Agenda Nyata Prabowo-Hatta, tak didapati visi, misi dan program yang se-vulgar bahasa Nawa Cita terkait komitmennya terhadap daerah-daerah di luar Jawa, Sumatera dan Bali yang tertinggal selama ini.

Komitmen membangun lokal dan daerah terpinggir, sebagaimana yang kita alami di Kalimantan dan Indonesia Timur lainnya selama ini, tentu tak cukup dilihat dari visi, misi dan program tertulis yang kedua capres-cawapres buat. Banyak variabel yang dapat kita ukur, termasuk jejak rekam capres-cawapres terkait hal ini.

Kendati demikian, visi, misi dan program yang sekarang sudah dipublikasikan itu penting untuk menjadi diskursus cerdas di tengah masyarakat kita.

Lebih lanjut, ia akan membawa Kompas Ke-Indonesiaan dengan paradigma pembangunan yang lebih berpihak pada daerah tertinggal sebagaimana yang selama ini alpa kita rasakan. Wallahu’alam. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved