Menjadi Menteri
Hiruk pikuk koalisi antarpartai politik yang mengusung pasangan capres dan cawapres 2014 ini tak hanya soal
Oleh: Rifqinizamy Karsayuda
Hiruk pikuk koalisi antarpartai politik yang mengusung pasangan capres dan cawapres 2014 ini tak hanya soal prosentase suara masing-masing partai untuk digabungkan agar memenuhi syarat mengusung pasangan calon. Namun di luar itu beredar kabar soal bagi-bagi jatah kursi menteri jika pasangan capres-cawapres yang diusungnya menang.
Apa yang menarik dari kursi menteri? Kursi menteri menyimpan harkat prestisius yang besar. Bayangkan saja, dari ratusan ribu warga negara Indonesia, tak lebih dari 35 orang saja yang dapat mengemban jabatan sebagai menteri ini. Prestise itu boleh jadi satu tarikan kepentingan dengan kehendak-kehendak pragmatis orang dan kelompok pengusung sang menteri.
Menteri yang memimpin satu kementrian dibekali anggaran puluhan hingga ratusan trilyun rupiah setiap tahunnya dari APBN. Angka itu menjadi amat menarik bagi pihak-pihak yang selama ini mengandlkan hidup dan bahkan bisnisnya dari dana-dana pemerintah. Beberapa korupsi yang menyeret para mantan menteri dalam beberapa waktu terakhir menegaskan kenyataan itu.
Pada pihak lain, menteri sebagai pembantu Presiden adalah pejabat yang memiliki otoritas pemerintahan puncak selain Presiden dan Wakil Presiden.
Kewenangan yang diberikan kepadanya tak hanya dapat menembus dan menggerakkan level pemerintahan di bawahnya, seperti Provinsi, Kabupaten dan Kota. Jabatan itu juga memberikan peluang padanya untuk membangun hubungan koordinatif bahkan kerjasama antar negara.
Boleh jadi, karena bergengsinya jabatan menteri itu, maka patokan parpol untuk berkoalisi mengusung capres-cawapres salah satunya disandarkan pada seberapa banyak mereka mendapat jatah kursi menteri.
Presiden dalam konstruksi ketatanegaraan kita memang diberikan preogratif untuk mengangkat dan memberhentikan para menteri. Di luar jabatan menteri, Presiden sesungguhnya memiliki pula otoritas mengangkat pejabat-pejabat lainnya.
Di birokrasi misalnya, Presiden berwenang untuk mengangkat para pejabat eselon I, semacam Sekjen, Dirjen dan Deputi di Kementrian.
Di BUMN, Presiden punya otoritas pula untuk mengangkat Direksi dan Komisaris. Kewenangan itu secara nyata dilakukan oleh Meneg BUMN yang merupakan Pembantu Presiden. Konon tak kurang daro 300 BUMN yang ada di Indonesia saat ini.
Pada wilayah lain, semacam lembaga yudikatif, Presiden dengan kewenangan tertentu dapat mengangkat 3 dari 9 hakim konstitusi di MK. Bahkan dalam kedudukannya sebagai kepala negara, Presiden dengan pertimbangan DPR dapat mengangkat Duta dan Konsul yang bertugas di negara-negara sahabat di seluruh dunia.
Dengan konstruksi demikian, boleh jadi Pilpres 9 Juli mendatang menjadi amat seksi dan menarik. Ini karena banyak kepentingan bermuara padanya.
Presiden nyatanya memang amat berkuasa di negara ini. Ia tak hanya kepala pemerintahan, melainkan sekaligus sebagai kepala negara.
Belakangan, kabar soal barter jabatan menteri atau jabatan lainnya yang merupakan otoritas Presiden untuk mengangkatnya, bukan hanya milik elite di Jakarta. Beberapa elite di daerah juga dikabarkan mendapatkan tawaran serupa.
Seorang pimpinan parpol di tingkat provinsi yang juga anggota DPR RI misalnya dikabarkan akan menjadi salah seorang menteri mewakili daerahnya. Tak sedikit pula gubernur yang saat ini menjabat digadang-gadang bakal menjadi menteri di kabinet mendatang.
Kabar yang tingkat validitasnya tentu mesti dipertanyakan ini, lantaran dalam satu jabatan menteri yang sama dikabarkan akan diduduki oleh beberapa orang dari beberapa daerah, nampaknya menjadi cara baru tim pemenangan capres-cawapres di Pilpres 2014 ini.
Logika Pilpres tentu tak sebangun dengan logika Pileg. Jika di Pileg seluruh caleg bekerja untuk dirinya sendiri dan parpolnya, maka pada Pilpres kerja-kerja parpol akan minus kerja-kerja ekstra para caleg pada Pileg lalu.
Sebagian besar parpol bahkan tak mengerakkan mesin politiknya. Ini boleh jadi lantaran sudah terlalu letih mengikuti Pileg yang konon menguras segala energi. Terlebih dalam Pilpres, para kader parpol di bawah merasa tak langsung mendapat keuntungan dari pihak-pihak yang akan menang dalam kontestasi ini.
Ketika parpol tak lagi dapat bergerak maksimal, maka memanfaatkan ketokohan para elite di daerah menjadi cara lain. Dengan iming-iming akan menjadi menteri, si elite akan bekerja maksimal menggerakkan parpol dan jejaringnya di daerahnya masing-masing.
Janji ini tentu diberikan pada ratusan elite di seluruh nusantara. janji yang mesti ditakar kebenarannya kelak.
Apapun itu, semoga saja ada Urang Banua yang benar-benar menjadi menteri dan menjadikan jabatannya sebagai bagian dari peningkatan harkat martabat dan percepatan pembangunan Banua ke depan. Wallahu'alam (*)