Menang Angka Kalah Sebaran
PASANGAN calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen
Oleh: Rifqinizamy Karsayuda
PASANGAN calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
Begitulah bunyi Pasal 6A ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Pasal di atas menjadikan polemik beberapa ahli, termasuk menyeret keraguan KPU untuk dapat menyelenggarakan Pilpres mendatang hanya satu putaran, kendati pasangan capres-cawapres yang bertarung hanya dua
pasangan.
Logika kemenangan dalam Pilpres di tempat kita memang didesain oleh Pembentuk UUD agar tak hanya mengedepankan besarnya angka perolehan suara, melainkan juga soal sebaran suara yang didapat. Mengapa demikian? Ini karena sebaran demografi Indonesia yang amat jomplang. Dalam banyak tulisan di Kolom ini, saya beberapa kali menyinggung, bahwa konsentrasi penduduk kita 80% di Jawa, Bali dan Sumatera.
Jika logika itu semata yang menjadi ukuran kemenangan capres-cawapres, maka sesungguhnya, mereka cukup berkampanye dan bekerja meraup suara sebesar-besarnya di tiga pulau itu.
Namun, dengan adanya syarat sebaran perolehan suara minimal dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, maka semua capres cawapres perlu bekerja keras ke seluruh penjuru republik.
Pada pihak lain, ketentuan konstitusi ini didesain pula untuk memberikan ruang bagi kebhinekaan yang inheren pada bangsa ini. Kebhinekaan adalah sesuatu yang melekat jauh sebelum bangsa ini berdiri.
Kesadaran akan kesamaan nasib terjajah dengan rajutan kebersamaan di masa kerajaan dulu, membuat bangsa ini berdiri di atas kebhinekaan itu. Ketentuan konstitusi di atas nyatanya membuat pasangan capres cawapres saat ini bekerja untuk memenangkan sebagian besar daerah di Indonesia.
Dengan provinsi yang berjumlah 34 buah, maka pasangan capres cawapres sedikitnya harus memenangkan suara di 17 provinsi di Indonesia dan meraih suara setidaknya dua puluh persen di seluruh provinsi di Indonesia.
Pada kenyataannya, saat ini pasangan capres cawapres sibuk bekerja berkeliling republik, dari satu daerah ke daerah lain. Dalam kacamata konstitusional, ini salah satunya dapat dimaknai agar raihan suara di Pilpres mendatang tak hanya datang dari beberapa Provinsi semata, melainkan juga datang dari seluruh Provinsi di Indonesia.
Ketentuan ini harus disadari telah menghantarkan marwah daerah-daerah minus penduduk, termasuk di tempat kita di Kalimantan Selatan ini.
Karena kesadaran akan sulitnya memenuhi ketentuan ini, maka pada Pilpres 2014 para capres dan cawapres datang ke Banua ini. Mereka bersilaturrahmi dan berkampanye. Dengan kedatangan mereka, kita bisa langsung memperlihatkan pelbagai problemantika Banua.
Dalam Pilpres 2004 dan 2009 lalu, dimana kontestasi Pilpres tak sekeras saat ini. Pada masa-masa itu, setidaknya diikuti oleh lebih dari empat pasangan capres cawapres. Dengan pola itu mereka tak harus menguras energi untuk berkeliling seluruh wilayah republik.
Alhasil, Kalimantan, termasuk Kalsel di dalamnya tak menjadi wilayah pertarungan yang menarik untuk dikunjungi sebelum hari pencoblosan.
Memang akan menjadi pertanyaan. Bagaimana jika setelah mereka bekerja, berkeliling seluruh wilayah, nyatanya tak ada satu-pun dari kedua pasangan calon ini yang memenuhi syarat sebaran raihan kemenangan di minimal 17 Provinsi di Indonesia.
Pada wilayah ini menurut saya, KPU sebelum memutuskan apakah akan menetapkan salah satu pasangan calon dengan raihan suara terbesar, namun minus sebaran sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih, atau menyelenggarakan Pemilu putaran kedua dengan resiko yang lebih kurang sama.
Skenario Pilpres putaran kedua pun tentu akan menjadi polemik baru. Apakah putaran keduanya dilangsungkan di seluruh wilayah republik yang itu artinya sama dengan penyelenggaraan Pilpres putaran pertama.
Atau putaran kedua digelar hanya di daerah-daerah dimana pasangan capres dengan raihan suara terbanyak tak memperoleh kemenangan.
Dengan kata lain, putaran kedua dilakukan secara terbatas untuk memperkut derajat legitimasi sebaran kemenangan capres cawapres dimaksud.
Atas berbagai spekulasi itulah, saat ini beberapa warga negara mengajukan Judicial Review ke MK untuk memperjelas perdebatan yang boleh jadi akan melahirkan kondisi darurat ketatanegaraan ini.
Kita tunggu putusan MK nya. Semoga memberi arah yang jelas bagi kita semua. Wallahu’alam. (*)