Berebut Saleh

Penggunaan simbol-simbol keagamaan, menghadiri acara-acara keagamaan, memobilisasi dukungan

Editor: Dheny Irwan Saputra

Coretan ketatanegaraan
Rifqynizamy Karsayuda

SALAH satu yang menarik dari perhelatan Pemilihan Presiden (Pilpres) kali ini adalah, masing-masing kandidat menonjolkan aspek keberagamaannya.

Penggunaan simbol-simbol keagamaan, menghadiri acara-acara keagamaan, memobilisasi dukungan kaum agamawan adalah pemandangan jamak dalam Pilpres kali ini.

Pada titik lain, kampanye hitam soal asal-usul keberagamaan calon presiden (capres) menjadi perbincangan utama di berbagai media sosial. Bahkan hingga kini terus menjadi perhatian banyak kalangan.

Bagi saya, penyeretan ranah agama ke politik praktis adalah bagian dari tradisi politik kita. Hal ini wajar, sebab agama merupakan bagian integral bagi masyarakat Indonesia.

Dalam ranah hukum tata negara, banyak ketentuan yang mensyaratkan bahwa posisi agama menjadi amat penting dalam tata kelola ketatanegaraan kita.

Dalam konteks agama resmi negara misalnya, Indonesia nyata-nyata tak menyebut diri sebagai negara yang menjadikan salah satu agama sebagai agama resminya.

Berbeda dengan Malaysia, Brunei Darussalaam dan sebagian besar negara di Timur Tengah yang menempatkan Islam sebagai agama resmi negara. Indonesia yang mayoritas penduduknya Islam, tak menegaskan hal tersebut dalam Konstitusinya.

Kendati demikian, berbagai peraturan perundang-undangan memberikan ruang khusus bagi soal-soal keberagamaan. Sebut saja misalnya, kehadiran UU Zakat, UU Haji, UU Perbankan Syariah, UU Waqaf, termasuk keberadaan Kementerian Agama, serta Peradilan Agama.

Dalam berbagai persyaratan untuk menduduki jabatan publik di pemerintahan, syarat terkait keberagamaan seseorang juga dipersyaratkan secara tersirat.

Dalam konteks Pilpres ini misalnya, Pasal 5 UU No 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden menegaskan, Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah: a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan syarat-syarat lainnya. Syarat ini diletakkan sebagai syarat pertama sebagai capres dan cawapres RI.

Alat ukur untuk menentukan apakah seseorang bertakwa atau tidak memang sangat sulit dilakukan. KPU misalnya, hanya menggunakan surat pernyataan perihal ketakwaan ini untuk memenuhi ketentuan persyaratan capres cawapres dalam Pasal 5 UU No.42 Tahun 2008 dimaksud.

Ketentuan serupa juga dijumpai di hampir semua UU yang mengatur soal syarat untuk menduduki jabatan publik. Dalam UU No.32 Tahun 2004 tetang Pemerintahan Daerah yang menjadi dasar pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, UU No.8 Tahun
2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD, UU tentang Mahkamah Agung, UU tentang Mahkamah Konstitusi serta berbagai peraturan perundang-undangan lain.

Peran keberagamaan seseorang menjadi perhatian sentral dalam menentukan kreteria seluruh jabatan ketatanegaraan kita. Konstruksi Konstitusi kita yang berakar dari Pancasila menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa pada sila pertamanya. Pancasila adalah jiwa bangsa yang berangkat dari kenyataan sosiologis masyarakat Indonesia selama berabad-abad.

Kenyataan sosiologis itu tampaknya masih amat relevan sampai detik ini. Ketidak ber-Tuhan-an seseorang atau sebut saja Atheis, secara sosiologis akan amat mempengaruhi citranya di mata publik, khususnya terkait keinginannya menduduki jabatan publik.

Bahkan pada segmen masyarakat tertentu, isu tentang seseorang yang berasal dari sebuah perkawinan beda agama, atau isu perihal bahwa si calon dahulunya berasal dari agama berbeda dengan agama mayoritas masyarakat, belakangan menjadi isu yang nampaknya amat serius menyita perhatian publik kita.

Karena kenyataan ini lah, hampir kedua capres cawapres beserta tim pemenangannya sibuk membangun legitimasi perihal keshalehan beragama calon mereka.

Padahal soal kesalehan seorang calon pemimpin sesungguhnya bisa dilihat bukan hanya soal seberapa jauh ritualitas keagamaan plus kedekatannya dengan sejumlah tokoh dan simpul agama. Kesalehannya menurut saya dapat pula dilihat dari jejak rekam panjangnya dalam meniti hidup dan karir.

Misalnya, sejauhmana ia telah memberi contoh untuk mengelola institusi yang pernah ia pimpin secara akuntabel dan transparan, jauh dari penyalahgunaan wewenang.

Karena rasanya tak mungkin orang yang shaleh dan bertakwa kepada Tuhan, melakukan berbagai penyimpangan amanah jabatan yang hakikatnya adalah amanah Tuhan padanya. Wallahu’alam. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved