Presiden Quick Count

BARU kali ini kita dihebohkan karena perbedaan hasil hitung cepat (quick count) sejumlah lembaga survei.

Editor: Dheny Irwan Saputra

Coretan ketatanegaraan
Rifqynizamy Karsayuda

BARU kali ini kita dihebohkan karena perbedaan hasil hitung cepat (quick count) sejumlah lembaga survei. Sebagian besar menempatkan pasangan Jokowi-JK sebagai pemenang Pilpres 9 Juli 2014 lalu. Rentang angkanya mulai dari 1,5% hingga 5,5% diatas perolehan pasangan Prabowo-Hatta.

Namun pada pihak lain, sejumlah kecil hitung cepat menempatkan pasangan Prabowo-Hatta sebagai pemenang Pilpres. Rentang prosentase kemenangannya lebih kurang sama dengan hasil lembaga survei yang memenangkan pasangan Jokowi-JK. Masyarakat dibuat galau akan data ini.

Secara normatif, ketentuan yang melarang survei dapat dirilis pada masa tenang Pemilu pernah diatur dalam ketentuan Pasal 247 ayat (2) dan larangan mengumumkan hitung cepat jika belum 2 jam setelah selesainya pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat sebagaimana ketentuan Pasal 247 ayat (5) UU No.8 Tahun 2012 tentang Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD.

Ketentuan ini telah diuji materiilkan oleh Perhimpunan Survei Opini Publik (Persepi) ke Mahkamah Konstitusi pada awal 2014 lalu. MK menyatakan ketentuan dalam Pasal 247 ayat (2) dan ayat (5) UU tersebut bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Kendati ketentuan tersebut berada ada rezim pemilu legislatif sebagaimana diatur dalam UU No.8 Tahun 2012, ketentuan tersebut diharapkan menjadi embrio lahirnya ketentuan serupa dalam UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres).

Selain telah dibatalkannya ketentuan larangan rilis survei pada masa tenang, termasuk larangan rilis hitung cepat sebelum semua TPS tutup tersebut oleh MK, ketentuan tersebut tak sempat diadopsi dalam UU Pilpres. DPR menyepakati untuk tetap menggunakan UU No.42 Tahun 2008 sebagai landasan hukum pelaksanaan Pilpres tahun 2014 ini. Dalam UU No.42 Tahun 2008 tak diatur soal rilis survei dan hitung cepat ini. Akibatnya, saat ini kita sedang disuguhkan dua data hitung cepat yang kontras perbedaaanya.

Hitung cepat dan survei memang bukan hasil sah Pemilu. Ia semata-mata sebagai mekanisme ilmiah dalm bidang statistika untuk melihat secara sampling kecenderungan atas suatu fenomena. Sebagai sebuat mekanisme ilmiah, hasilnya bisa saja salah dan tak sesuai fakta.

Fenomena survei dan hitung cepat dalam Pemilu kita adalah sesuatu yang baru. Ia diperkenalkan pada 2004 ketika SBY dan JK dinyatakan memenangkan Pilpres pada putaran pertama dan kedua. Setelah itu, hampir semua Pemilu kita dihiasi oleh berbagai survei politik.

Akibatnya lembaga survei pun tumbuh menjamur. Jika pada masa-masa awal tahun 2004, lembaga survei hanya berbasis di ibukota, kini ia menjamur hingga ke daerah. Banyaknya lembaga survei itu membawa implikasi positif dan negatif.

Banyaknya lembaga survei menjadikan persaingan secara positif terjadi antar mereka. Satu lembaga survei tak dapat memonopoli hasil surveinya sebagai kebenaran yang absolut. Pasalnya, pada pihak lain akan ada data survei yang disajikan lembaga survei lain.

Selain itu, lembaga survei semakin menjaga kredibilitasnya, baik dari sisi keakuratan
survei, maupun jejak rekam kerjasamanya dengan berbagai mitra. Lembaga survei yang tak akurat secara ilmiah, akan dipertanyakan kapabilitas intelektualnya. Begitupula lembaga survei yang mau mengeluarkan hasil survei sesuai pesanan dan bayaran, lambat laun akan tak laku di pasaran.

Kendati demikian, masih kita temukan beberapa lembaga survei yang rela melacurkan dirinya untuk kepentingan pragmatis tertentu dengan merekayasa hasil surveinya.

Di pihak yang lain, adapula lembaga-lembaga survei yang tak memiliki kapabilitas ilmiah yang memadai. Mereka tak memahami metodologi dengan baik, akibatnya hasil surveinya tak pernah akurat.

Survei politik dan hitung cepat dalam Pilpres 2014 ini telah memberikan hikmah pada kita soal semakin hidupnya demokrasi berbasis ilmiah di Indonesia.

Namun pada pihak lain, kita nampaknya masih memerlukan ketentuan yang memberikan batasan-batasan etik dan metodologis bagi semua lembaga survei, agar tak ada lagi survei abal-abal. Wallahu’alam. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved