Ramping-Rampung Kabinet
Lebih dari satu bulan terakhir, sejak Jokowi-JK ditetapkan KPU sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI 2014-2019,
Oleh: Rifqinizami Karsayuda
Lebih dari satu bulan terakhir, sejak Jokowi-JK ditetapkan KPU sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI 2014-2019, wacana pembentukan kabinet terus bergulir di publik.
Tak hanya ditandai soal munculnya beberapa situs yang menampilkan nama-nama calon anggota Kabinet Jokowi-JK, wacana soal kabinet juga diikuti oleh keinginan menghadirkan porsi kabinet yang lebih ramping.
Sebagaimana diketahui, Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II saat ini berisi 34 Menteri dan 17 Wakil Menteri. Porsi ini adalah komposisi menteri maksimal sebagaimana amanah UU Kementerian Negara.
UU itu menegaskan jumlah kementerian maksimal sebanyak 34 Kementerian. Sedangkan jumlah maksimal Wakil Menteri tak diatur dalam UU dimaksud.
Keberadaan Wakil Menteri dapat digunakan oleh Presiden untuk membantu Menteri pada Kementerian tertentu dengan tugas yang dianggap berat.
Kehendak sebagian kalangan untuk meyederhanakan jumlah kementerian yang berkorelasi dengan jumlah menteri-nya didasari oleh semangat efisiensi kerja dan anggaran. Beberapa kementerian yang ada dianggap dapat digabungkan dengan kementerian lain, sehingga jumlahnya tak sampai 34 buah.
Besar kecilnya jumlah kementerian bukan hanya berakibat pada semakin "ribetnya" birokrasi pemerintahan, melainkan juga berakibat pada anggaran negara.
Anggaran negara akan tersedot untuk membiayai seluruh aktivitas kementerian, beserta gaji, tunjangan dan berbagai fasilitas bagi menteri, wakil menteri serta birokrasi yang ada di bawahnya.
Namun pada sisi lain, keinginan untuk menyederhakan jumlah kementerian itu tak sesederhana harapan banyak pihak. Salah satu implikasi dari penyederhanaan itu adalah terjadinya pemangkasan sejumlah jabatan di kementerian yang sebelumnya ada menjadi tiada. Boleh jadi karena hal ini akan terjadi banyak birokrasi yang tak jelas pekerjaannya pasca terjadinya merger kementerian.
Pada pihak lain pula, boleh jadi akan terjadi kendala koordinasi dan pembagian tugas dan fungsi unit-unit kerja yang sebelumnya ada dengan unit-unit kerja yang kemudian diserahi kewenangan untuk mengurusinya.
Jika ini yang terjadi, kehendak untuk menghadirkan pemerintahan yang lebih efektif dan efisien justru tak tercapai, Hal ini lantaran pemerintahan Jokowi-JK kedepan justru disibukkan dengan urusan teknis ke-birokrasi-an yang dapat mengesampingkan kulaitas kinerja pemerintahan dan pelayanan publik.
Di masa transisi seperti sekarang, Jokowi-JK beserta tim yang telah mereka bentuk sesungguhnya tak hanya mendesain soal rancang bangun kabinet yang akan mereka pimpin, namun pada pihak lain mereka juga berkewajiban mengkalkulasi setiap konsekwensi dari pilihan rancang bangun yang akan mereka gunakan.
Dalam posisi seperti ini, boleh jadi kabinet Jokowi-JK kedepan tak akan mengalami banyak perubahan dari Kabinet yang ada saat ini. Perubahan dalam betuk penggabungan kementerian berdasarkan fungsi, tugas dan kewenangan bisa saja terjadi.
Sebagai contoh penggabungan Kementerian Peridustrian dan Kementerian Perdagangan menjadi Kementerian Perindustrian dan Perdagangan. Digabungkannya urusan ekonomi kreatif ke Kementerian Koperasi dan UKM, serta penggabungan urusan maritim dan wilayah pesisir dengan kementerian perikanan dan kelautan yang ada saat ini.