Ini Dia Penyebab Internet di Indonesia 'Lemot Bak Siput'

Evolusi jaringan bergerak untuk kebutuhan komunikasi dan transfer data memang selalu menarik perhatian, khususnya bagi para operator

Editor: Halmien

BANJARMASINPOST.CO.ID - Indonesia baru akan memanfaatkan jaringan internet 4G setelah sekian lama berkutat dengan 3G bahkan 2G, sedangkan Tiongkok sudah beranjak ke 5G supercepat.

Evolusi jaringan bergerak untuk kebutuhan komunikasi dan transfer data memang selalu menarik perhatian, khususnya bagi para operator telepon seluler, produsen gawai (gadget), sampai end users atau pengguna. Ini terkait dengan kecepatan dan kemudahan manusia tersambungkan secara digital dan nirkabel satu sama lain yang berbilang jarak, ruang, dan waktu.

Di sisi operator dan pembuat gawai, ketersambungan antarmanusia dengan segenap perlengkapan komunikasinya berarti megabisnis.

Bagi pengguna, akan semakin banyak ragam pilihan cara dan gaya berkomunikasi dengan kecepatan transmisi yang terus ”didewakan” sebagai keunggulan. Itu sebabnya ketika 4G masih baru akan melangkah di Indonesia, ketersediaan dan pengaturannya oleh pemerintah sangat ditunggu oleh pengguna internet yang haus akan kecepatan. Lebih cepat dan lebih terjangkau tentunya.

Tanpa harus menunggu aba-aba pemerintah sentral, perusahaan global Huawei Technologies yang berbasis di Shenzhen, Tiongkok, berinisiatif menanamkan investasi untuk meneliti dan mengembangkan generasi baru kecepatan transmisi internet, yaitu 5G. Tentu saja ini evolusi terbaru dari jaringan transmisi dengan kecepatan yang bisa mengubah wajah teknologi informasi depan.

Sekadar kilas balik, agar bisa saling berkomunikasi menggunakan telepon seluler, manusia memerlukan teknologi GSM atau global systems for mobile communications, sebuah standar yang dikembangkan ETSI (European Telecommunications Standards Institute) untuk menggambarkan sebuah protokol untuk generasi kedua jaringan seluler digital atau 2G yang penggunaannya semata-mata untuk telekomunikasi melalui telepon seluler.

Meski demikian, pada masanya teknologi ini berkembang, penetrasi pasarnya mencapai 90 persen. Artinya, tidak ada telepon seluler di mana pun di dunia ini yang tidak menggunakan teknologi jaringan ini.

Selama masa transisi pengembangan ke 3G, teknologi 2G mengalami periode transisi, yakni GPRS (general packet radio service) atau 2.5G dan EDGE (ehhanced data rates for GSM evolution) atau 2.75G. Teknologi telepon bergerak digital EDGE atau sering disebut pra-3G ini mulai mampu mengirim data terbatas dengan kecepatan yang masih lambat.

Kemudian, UMTS (universal mobile telecommunications system) merupakan generasi ketiga sistem telepon seluler atau 3G untuk jaringan berbasis standar GSM yang dikembangkan 3GPP (3rd generation partnership project) dan berbasis WCDMA (wideband code division multiple access). Jaringan 3G kemudian dikembangkan menjadi 3.5G atau HSDPA (high speed downlink packet access) dan 3.75G atau HSUPA (high speed uplink packet access) yang lebih cepat dari periode transisi sebelumnya.

Terakhir, LTE (long term evolution) atau biasa dikenal sebagai 4G juga dikembangkan oleh 3GPP untuk memperbarui performa jaringan sebelumnya, yakni mengoptimalkan penyampaian data berkecepatan tinggi untuk telepon seluler dan terminal data. Untuk selanjutnya jaringan ini disebut 4G technologies atau 4G saja. Dari sisi evolusi kecepatan internet bergerak GSM ”hanya” 9.6 Kbps, GPRS 177 Kbit/s, EDGE 384 Kbps, UMTS 2 Mbps, HSDPA 14.4 Mbps, HSUPA 5.76 Mbps, HSPA+ 42 Mbps, LTE 300 Mbps, dan LTE-A (LTE Advanced) mencapai 1 Gbps.

Fokus 5G

Roland Sladek, Vice President International Media Affairs Huawei, tidak ragu menyebut angka 600 juta dollar AS atau Rp 7,2 triliun biaya untuk 5G yang pengembangannya dimulai sejak 2009. Pada saat dimulainya pengembangan 5G di tahun tersebut, Indonesia masih menggunakan 3G bahkan 2G.

Menurut Sladek, tidak ada seorang pun yang tahu bagaimana prospek dan ”nasib” 5G di masa depan karena semuanya baru uji coba dan terbuka bagi siapa pun untuk mencobanya. Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan juga berlomba-lomba mengembangkan 5G.

”Yang kami lakukan adalah semata meneliti, menguji, dan mengembangkannya untuk teknologi komunikasi masa depan,” katanya di pusat penelitian dan pengembangan Huawei di Shanghai, Tiongkok, akhir Desember 2014.

Meneliti dan mengembangkan jaringan transmisi untuk keperluan teknologi informasi dan telekomunikasi tidak semudah membalik telapak tangan. Jika dihitung dimulainya pengembangan 5G pada 2009, itu berarti durasi penelitian dan uji cobanya sudah memakan waktu lima tahun. Padahal, Sladek memprediksi manfaat teknologi 5G baru benar-benar dirasakan lima tahun ke depan dari sekarang atau pada 2020. ”Penelitian dan pengembangan tahun 2014 ini fokus pada teknologi 5G,” katanya.

Di tempat terpisah, Jude Zhang dan Henry Ren dari Marketing Department Huawei juga memperkirakan spektrum mobile broadband (MBB) dengan kecepatan 40 GHz yang tecermin lewat 5G ini baru akan dinikmati secara massal pada 2020. Bahkan, Ren menjelaskan, uji coba penggunaan 5G akan dilakukan saat berlangsungnya Piala Dunia 2018 di Moskwa, Rusia.

Kecepatan transmisi data menjadi kata kunci bisnis dan pengembangan 5G ini sebab pada lima tahun ke depan diperkirakan teknologi 5G inilah yang akan digunakan secara global, menggantikan teknologi sebelumnya. Bagaimana Sladek menjelaskan ”kecepatan dan kapasitas” teknologi terbaru ini dilakukan dengan perbandingan. Jika 4G memerlukan ukuran waktu ”menit” untuk mengunduh sebuah film HDTV, katanya, ”Dengan 5G hitungan waktunya berupa detik saja.”

Selain untuk komunikasi, banyak hal bisa dilakukan dengan teknologi 5G, dari industri gim yang mengarah ke penciptaan hologram yang medianya tidak lagi mengandalkan layar manual, tetapi ”ruang udara” itu sendiri, sampai untuk keperluan teleconference dan telepresence. Memang perkiraan waktu terciptanya teknologi ini baru akan terjadi pada 2020, tetapi itu bisa lebih cepat. ”Bagi kami (Huawei), siapa yang menguasai teknologi 5G, dialah yang akan menguasai dunia industri teknologi informasi digital,” kata Sladek.

Pengembangan selanjutnya yang tidak boleh diabaikan adalah internet of things (IoT), yang tidak semata-mata bicara soal kapasitas dan kecepatan internet. IoT adalah semacam konsep komputer yang menggambarkan masa depan. Setiap hari setiap obyek fisik tersambung ke internet dan saling dapat mengidentifikasi satu sama lain.

Pada masa lalu, kemampuan ini disebut RFID (radio-frequently identification), yaitu alat atau manusia yang dalam kehidupan sehari-hari dilengkapi identifikasi. Mereka dapat diatur dan diinventori oleh komputer. Tentu saja kemampuan ini bisa optimal berkat jaringan internet yang semakin cepat dan andal.

Sladek menyebut saling tersambungkan ini sebagai M2M, yaitu yang tersambungkan itu bisa machine to machine (mesin ke mesin), machine to man (mesin ke manusia), man to machine (manusia ke mesin), atau machine to mobile (mesin ke perangkat bergerak). Pendeknya IoT menghubungkan manusia, alat, dan sistem. Internet dan komunikasi bergerak adalah manifestasi dari ”manusia-alat-sistem” tadi. Ambisi perusahaan raksasa seperti Huawei Technologies adalah untuk menguasai dunia di bidang teknologi komunikasi dan informasi (ICT) ini.

Ke depan, teknologi informasi yang mampu membuat alat ”berpikir”, ”merasa”, dan ”berbicara” seperti halnya manusia akan menjadikan Bumi ini sebagai ”smart planet”. Sebuah gambaran ketika teknologi informasi menjadi bagian dan menyatu dalam kehidupan manusia sehari-hari. Beradu kecepatan internet dengan kapasitas yang nyaris tanpa batas adalah kunci utamanya.

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved