Alumni Mahasiswa Katolik: "Penodaan Agama Harus Dihukum"
Pembakaran tempat ibadah dan rumah-rumah warga di Tolikara, Papua, mencederai bahkan menodai reputasi Indonesia sebagai negara pluralis
Jelas dalam elemen SARA, masing-masing memiliki kepentingan yang berbeda atau bahkan secara diametral bertabrakan. Pada titik inilah Negara berupaya menjembatani atau mengakomodasi setiap tabrakan kepentingan tersebut, sehingga setiap kebijakan yang ditelurkan selalu mewakili masyarakatnya.
Kemajemukan masyarakat Indonesia tidak hanya dalam cita-cita tetapi terwujud menjadi kenyataan sosial-politik yang didambakan oleh setiap warga memerlukan persyaratan.
Persyaratan berupa pengakuan secara formal dan substansial baik dari pemegang kekuasaan, masyarakat umum, maupun kelompok sosial, politik, dan kebudayaan.
Political will dari pemegang kekuasaan yang tulus dalam meletakan infrastruktur politik yang mengakui pluralisme. Masyarakat dari golongan dan lapisan manapun diberi hak untuk ikut terlibat dalam perdebatan atau diskusi tentang SARA, tanpa harus ada pemaksaan makna dari Negara terhadap masyarakat sipil.
Semua pihak memahami SARA selain menciptakan konflik tetapi juga menjadikan SARA sebagai energy dalam mewujudkan proses demokrasi.
Memahami SARA sebagai energy yang mengandung kekuatan konflik tanpa memperhitungkan SARA sebagai potensi demokrasi. Pluralisme masyarakat Indonesia yang tertuang dalam cita-cita “Bhinneka Tunggal Ika” hanya akan tinggal utopia, sebab yang hadir dalam pentas politik secara riil adalah “Pluralisme yang berbingkai SARA”.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/banjarmasin/foto/bank/originals/insiden-terbakarnya-masjid-di-tolariko-papua_20150717_203219.jpg)