Dimana Kehormatan Milan?
Ditahan 1-1 oleh tuan rumah Torino, setelah unggul lebih dulu, boleh jadi semakin menjelaskan kualitas dan mentalitas Rossoneri belakangan ini
BANJARMASINPOST.CO.ID - Memasuki bulan ketiga kompetisi, kesebelasan yang pernah diagung-agungkan bangsa Italia ini belum juga menemukan kehormatannya.
Ditahan 1-1 oleh tuan rumah Torino, setelah unggul lebih dulu, boleh jadi semakin menjelaskan kualitas dan mentalitas Rossoneri belakangan ini. Ada apa sebenarnya dengan AC Milan?
baru tiga bulan melatih Milan, kerut-kerut di wajah Sinisa Mihajlovic bertambah banyak. Jenggot dan kumisnya memutih. Miha seperti mendadak tua. Kondisi ini mencerminkan betapa seriusnya persoalan profesional yang ia hadapi di Milanello.
Pekan sebelumnya, untung dia tidak jantungan usai melihat pasukannya dipermak Napoli 0-4 di San Siro.
“Semua berkenaan dengan mentalitas. Skuat ini menderita kecemasan yang parah,” kata Miha, yang tampak tidak pernah terlihat bahagia melatih sebuah klub legendaris.
Si raja tendangan bebas saat menjadi bek tangguh di Sampdoria dan Lazio itu terlihat keteteran menangani Milan sebab terbentur pada problem paternalistik atau paternalisme yang parah.
Dengan gaji 2 juta euro setahun, termahal keempat di Serie A setelah Roberto Mancini (4), Massimiliano Allegri (3,5), dan Rudi Garcia (2,8), Miha harusnya bisa menikmati tantangan dan pengalaman baru.
Miha punya hasrat menyala-nyala, hal berkebalikan justru ada di para pemain.
“Saya lihat mereka sudah memberikan yang terbaik di lapangan, sementara pelatih adalah orang yang sangat telaten dalam persiapan. Namun, semua itu belum cukup jika mereka bermain melupakan keberanian dan kepribadian,” kata kiper senior Christian Abbiati, 38 tahun
Kini, Milanisti garis keras kian berani mengutuk dan mengata-ngatai Adriano Galliani dan menyindir Silvio Berlusconi.
Milan sudah kehilangan keyakinan dan posisinya? Jika yang tadinya tabu kini dianggap lazim, tak dimungkiri hal itu pertanda terjadi krisis budaya dan tradisi.
Suporter fanatik kini kian berani memporakporandakan masa lalu, kejayaan, kenangan indah.
“Apa yang terjadi di Milan mirip di Juve setelah mencapai final Liga Champion,” tutur Carlo Ancelotti.
Nasihat Capello
Pengamatan Alberigo Evani, salah satu legiun The Dream Team yang kini melatih tim nasional junior Italia, cukup menarik.
Menurutnya, problem Milan ke depan lebih mengerikan dari yang baru terlihat, semuanya bersifat struktural. Ia menyoroti kinerja manajemen yang tidak becus menangani bakat-bakat muda.
Keandalan bakat Matteo Darmian, Pierre Emerick-Aubameyang, hingga Stephan El Shaarawy justru dinikmati orang lain. Sementara yang masih setia bertahan seperti Ignazio Abate bak jalan di tempat.
“Jika manajemen tidak belajar dari pengalaman buruk sebelumnya, Milan tidak akan pernah bisa membangun kesuksesan seperti di era Sacchi atau Capello,” ucap Evani.
Persoalan Milan tidak bisa diselesaikan dalam semalam. Itulah kata Fabio Capello.
Apa yang terjadi merupakan gumpalan problem yang tidak pernah terselesaikan bertahun-tahun. Capello mensinyalir eksodus pemain bertahan sebagai fondasi permainan pada 3-4 tahun silam menjadi awal petaka. Ia mengaku sulit membayangkan menangani Diavolo Rosso sekarang ini.
“Milan saya dan Milan Sacchi punya bek luar biasa, sementara Milan yang sekarang terlalu sering bikin kesalahan sepele. Biarkan Miha terus bekerja untuk memahami seluruh atmosfer dan mentalitas pemain,” kata Capello. “Sinisa harus mengetahui, mengerti, lalu memilih sendiri 12-13 pemain utamanya. Itulah prioritasnya.”
Kendati Miha coba menutupi tabir bahwa tidak ada yang merecokinya saat menyusun starting line-up, banyak orang di Italia kadung tahu Berlusconi dan Galliani suka ikut campur.
Fakta ini seperti membenarkan hipotesis Jose Mourinho yang mengatakan Italia adalah negara dengan 60 juta pelatih sepak bola.
