UU Ini Tidak Berpihak TKI Malah Pro Perusahaan Pengerah TKI

"Menurut saya, yang salah adalah sistem hukumnya, sistem hukum yang tidak memihak pada TKI. Ini cerminan dari ketidakberesan perlindungan WNI

Editor: Didik Triomarsidi
banjarmasinpost.co.id/kompas.com
Puluhan calon TKI ilegal asal Nusa Tenggara Barat (NTB) saat ditampung di kantor LTSP NTB. 

BANJARMASINPOST.CO.ID, JAKARTA - Guru Besar Hukum Perburuhan Universitas Indonesia Aloysius Uwiyono menyatakan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri justru tidak memihak TKI. UU tersebut hanya berpihak pada Perusahaan Pengarah TKI Swasta (PPTKIS).

"Menurut saya, yang salah adalah sistem hukumnya, sistem hukum yang tidak memihak pada TKI. Ini cerminan dari ketidakberesan perlindungan WNI saat mereka di luar negeri," ujar Uwiyono dalam Rapat Koordinasi Nasional Perlindungan WNI di Balai Kartini, Jakarta, Selasa (20/10/2015).

Pria yang juga merupakan akademisi bidang ketenagakerjaan itu membeberkan satu per satu pasal yang disebut hanya memihak PPTKIS tersebut. Semuanya terkait dengan penempatan TKI yang tidak seharusnya dilakukan PPTKIS, melainkan oleh lembaga pemerintah.

"Penempatan TKI seharusnya dilakukan oleh lembaga pra penempatan, lembaga masa penempatan, dan lembaga purna penempatan," kata Uwiyono.

Ia menjelaskan, lembaga pra penempatan bertugas untuk melakukan rekruitmen dan pelatihan, termasuk melakukan uji kompetensi, tes psikologi, dan pembekalan akhir. Hal tersebut dilakukan di dalam negeri sebelum calon TKI diberangkatkan.

Setelah itu selesai, barulah lembaga pra penempatan mengirimkan dokumen calon TKI kepada PPTKIS. "PPTKIS hanya berfungsi sebagai job sending saja," kata Uwiyono.

Namun, pada kenyataannya, dalam pasal 35 dan 37 tentang perekrutan serta pasal 34 tentang pendidikan dan pelatihan, semuanya dilakukan oleh PPTKIS.

"(Kalau oleh PPTKIS) maka jelas calo-calo itu sehingga terjadilah human trafficking di mana calo-calo tadi membawa TKI ke PPTKIS. Ini harusnya diselesaikan lembaga pra penempatan," jelas Uwiyono.

Setelah calon TKI diberangkatkan dan tiba di negara tujuan, lembaga yang seharusnya bertanggung jawab menyaksikan penandatanganan perjanjian kerja adalah lembaga masa penempatan. Lembaga ini jugalah yang berperan saat TKI bekerja di luar negeri.

Namun, dalam pasal 55 ayat 2 tentang perjanjian kerja, disebutkan bahwa calon TKI menandatangani perjanjian kerja sebelum diberangkatkan dan di bawah tanggung jawab PPTKIS. "Seharusnya ditandatangani setelah TKI sampai di negara tujuan dan disaksikan lembaga masa penempatan," kata Uwiyono.

Selain itu, Uwiyono pun menjelaskan pasal-pasal lain tentang pelaporan kepada PTKIS dan perlindungan yang diawasi PPTKIS. Seharusnya, yang melakukan semua itu adalah lembaga masa penempatan.

"Perlindungan di luar negeri yang diawasi PPTKIS, padahal PPTKIS-nya tidak ada di luar negeri," tutur Uwiyono.

Selanjutnya, kata Uwiyono, lembaga yang bertanggung jawab saat TKI tiba kembali di tanah air adalah lembaga purna penempatan. Sedangkan dalam UU disebutkan yang bertanggung jawab hingga TKI sampai di kampung halamannya adalah PPTKIS.

Dari penjabaran pasal-pasal itulah Uwiyono menyimpulkan bahwa UU Nomor 39 Tahun 2004 tidak memihak TKI, terutama terkait penempatan kerja mereka.

Pemerintah harus membentuk lembaga-lembaga tersebut dan bertindak sebagai regulator, pengawas, serta penindak. "Dan memposisikan PPTKIS sebagai pencari job order saja," kata Uwiyono.

Sumber: Kompas.com
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved