Jelang Pilkada Kalsel
Waspada, Broker KTP Makin Aktif Bergerak di Kalsel Jelang Pilkada
Bawaslu memprediksi bahwa sejumlah KTP yang diminta oleh orang yang mengaku tim pasangan calon itu akan digunakan untuk hal tertentu.
Penulis: Rendy Nicko | Editor: Elpianur Achmad
BANJARMASINPOST.CO.ID, BANJARMASIN - Pilkada serentak 2015 tinggal hitungan hari. Geliat pesta demokrasi lima tahunan ini makin terasa ketika dalam beberapa hari terakhir terdapat sejumlah orang yang mengaku tim pasangan calon kepala daerah bergerak meminta Kartu Tanda Penduduk (KTP) ke masyarakat.
Dan hal itu rupanya sudah terendus oleh Panwaslu dan Bawaslu Kalsel. Bahkan Bawaslu memprediksi bahwa sejumlah KTP yang diminta oleh orang yang mengaku tim pasangan calon itu akan digunakan untuk hal tertentu.
"Kami menduga oknum ini menjual data atau KTP ke paslon dan dijanjikan sejumlah uang. Ngomongnya sih tim paslon, tapi saya mengira mereka ini broker. Hal ini ditemukan oleh beberapa teman di lapangan. Dan orangnya itu-itu saja," terang Ketua Bawaslu Kalsel Mahyuni dalam Forum Group Discussion (FGD) Pengawasan Partisipatif di Aula Batung Batulis Banjarmasin, Sabtu (5/12).
Ya, dalam kesempatan itu, Mahyuni mengurai bahwa Pilkada di Kalsel ini sejak awal sudah terdapat money politic atau politik uang. Sejak masa pendaftaran pasangan calon, santer disebut adanya geliat politik uang dalam pengusungan sejumlah partai ke pasangan calon
"Tak hanya yang berpartai, tapi yang melalui jalur independen pun juga santer disebut. Namun kami akui memang sulit untuk dibuktikan dan diproses," akunya.
Selain itu, dalam masa tahapan kampanye dialogis banyak juga temuan mengenai pembagian kepada masyarakat. Yang paling banyak ditemui adalah pembagian sarung, sajadah dan jilbab.
"Ini luar biasa. Harusnya pemberian kan dibawah Rp 25 ribu dan itu untuk sembilan item yang diatur perundangan. Tapi fakta di lapangan bervariasi. Yang paslon pahami cuma angkanya saja, padahal tidak itu," terang dia.
Bagi Mahyuni ada beberapa kendala yang dihadapi ketika menemui adanya money politic. Yakni kendala kultur di masyarakat yang enggan melapor ataupun menjadi saksi dalam temuan pelanggaran.
"Selain itu, tak ada satu pasal pun dalam UU nomor 1 dan 8 yang bisa menjerat pelaku money politic. Sebenarnya bisa juga dengan KUHP, tapi tentu tidak mudah. Karena itu kami fokus dengan pencegahan saja," terang Mahyuni.(nic)
