Antara Sufi dan Filosof
Kata orang, cinta itu buta. Kalau sudah cinta, gula Jawa rasa coklat. Cinta itu perasaan, bukan pikiran. Konon, perasaan itu di hati, pikiran itu di k
Oleh: Mujiburrahman
Akademisi IAIN Antasari Banjarmasin
Kata orang, cinta itu buta. Kalau sudah cinta, gula Jawa rasa coklat. Cinta itu perasaan, bukan pikiran. Konon, perasaan itu di hati, pikiran itu di kepala. Kalau sedang berpikir, orang akan mengernyitkan dahi. Kalau tengah bersedih, orang akan mengusap dada sambil berkata, “Sakitnya tuh di sini!”
Dalam agama juga dikenal adanya dua jalan menuju Tuhan: jalan akal dan jalan hati. Yang pertama bersifat rasional, menggunakan nalar berupa susunan pikiran yang runtut. Jalan ini juga disebut jalan pengetahuan. Yang kedua bersifat emosional, menggunakan perasaan sebagai sarana mengalami kebenaran. Jalan ini juga disebut jalan cinta. Keduanya kadangkala dianggap bertentangan.
Dua jalan tersebut diwakili oleh filosof dan sufi. Bagi filosof, untuk sampai kepada kebenaran, orang harus menggunakan dalil-dalil rasional, sedangkan bagi sufi, kebenaran tak perlu didiskusikan, tetapi dialami dan dirasakan. Bagi filosof, tanpa penalaran, pengalaman tidak akan bisa dimaknai dan dipahami. Bagi sufi, penalaran hanyalah gambaran tentang kenyataan, bukan kenyataan itu sendiri.
Dalam sejarah pemikiran Islam, al-Ghazali (1058-1111) biasanya dianggap mewakili sufi, dan Ibnu Rusyd (1126-1198) mewakili filosof. Al-Ghazali menulis Tahâfut al-Falâsifah di mana ia mengkritik argumen-agumen metafisika para filosof, sementara Ibnu Rusyd menjawab serangan itu secara rinci dalam Tahâfut al-Tahâfut. Saling kritik ini tidak berlanjut karena keduanya tidak hidup sezaman.
Namun, sebenarnya al-Ghazali itu sufi sekaligus filosof. Dia mengkritik filsafat dengan filsafat. Dia hanya menolak dalil-dalil metafisika, yang menurutnya bukan ranah akal, tetapi agama. Penerimaan kaum Muslim terhadap Logika Aristoteles antara lain karena al-Ghazali menganggapnya sejalan dengan Alquran. Keutamaan posisi tengah dalam Etika Aristoteles juga mempengaruhi al-Ghazali.
Bagaimana dengan Ibnu Rusyd? Dia tampaknya adalah filosof tulen. Dia dikenal sebagai komentator (pensyarah) Aristoteles. Banyak yang berpendapat, rasionalisme yang tumbuh di Eropa sebagai cikal bakal kemodernan adalah berkat pengaruh Ibnu Rusyd. Sejauh yang kita ketahui, Ibnu Rusyd tidak pernah menulis karya di bidang tasawuf. Dia hanya menulis kitab fiqh (hukum Islam) dan filsafat.
Jika demikian, apakah Ibnu Rusyd sama sekali tidak peduli dengan pengalaman sufi? Ternyata tidak. Sufi ternama, Ibnu Arabi (1165-1240), punya cerita. Ayah Ibnu Arabi berteman baik dengan Ibnu Rusyd. Dalam satu perbincangan dengannya, ayah Ibnu Arabi bercerita tentang anaknya yang mendapatkan penyingkapan ilahi. Ibnu Rusyd pun penasaran, ingin bertemu Ibnu Arabi muda itu.
Singkat cerita, Ibnu Arabi kemudian mengunjungi Ibnu Rusyd di rumahnya. Sang filosof berdiri menyambut kedatangan sang sufi, membentangkan dua tangan, lalu memeluknya. Ibnu Rusyd berbisik, “Ya”, dan Ibnu Arabi menjawab “Ya”. Mendengar jawaban itu, sang filosof tampak cerah dan gembira. Tetapi Ibnu Arabi melanjutkan, “Tidak”. Ibnu Rusyd kaget, wajahnya langsung berubah.
“Apa yang kau dapatkan dalam penyingkapan-penyingkan ruhani dari Tuhan?” tanya Ibnu Rusyd. Ibnu Arabi menjawab,” Ya dan tidak. Di antara ‘ya’ dan ‘tidak’ itulah ruh meninggalkan tubuh, dan leher terlepas dari badan.” Paham apa yang dimaksudkan oleh sang sufi, Ibnu Rusyd gemetar dan pucat seketika, lalu berkata, “Tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah.”
Cerita di atas, mungkin memesona sekaligus membingungkan, jika kita tidak memahami konteks pembicaraan mereka. Menurut pakar kajian Ibnu Arabi, Michel Chodkiewicz, konteks pembicaraan mereka itu adalah soal kebangkitan jasmani kelak setelah kiamat. Para filosof, dengan argumen-argumen tertentu, menolak kebangkitan jasmani, sementara para teolog meyakini akan hal itu.
Jabawan ‘ya’ dan ‘tidak’ memang ciri khas Ibnu Arabi, untuk menjelaskan banyak hal. Luasnya ilmu hakikat yang disingkapkan Tuhan kepadanya, membuatnya dapat melihat keseluruhan sekaligus bagian-bagian, hutan sekaligus pohon-pohon di dalamnya. Dalam soal hakikat, ia menolak cara berpikir dikotomis, benar-salah, hitam-putih, yang seringkali terlalu sederhana bahkan berbahaya.
Alhasil, kita kadang terkesan dengan satu sisi yang lebih menonjol, lalu menganggap yang lain tidak ada atau tidak penting. Padahal, secara keseluruhan, manusia adalah perasaan sekaligus pikiran, akal sekaligus cinta, ilmu sekaligus pengalaman. Memilih salah satunya hanya akan mengerdilkan diri kita sebagai manusia. Hakikat itu adalah ‘ya’ dan ‘tidak’, bukan ‘ya’ atau ‘tidak’. (*)