Tak Bisa Menenun? Tak Boleh Kawin
Begitu cekatan jemari para perempuan pengrajin tenun Lombok menjalin benang-benang menjadi lembaran kain bermotif khas daerah dengan tampilan indah.
Penulis: Salmah | Editor: Elpianur Achmad
BANJARMASINPOST.CO.ID, LOMBOK - Begitu cekatan jemari para perempuan pengrajin tenun Lombok menjalin benang-benang menjadi lembaran kain bermotif khas daerah dengan tampilan sangat indah.
Penasaran melihat aksi para pengrajin, rombongan dari Pemko Banjarmasin yang terdiri wartawan pressroom, humas dan protokol, mencoba belajar menenun.
Ternyata tidak mudah! Selain harus cermat meletakan benang-benang untuk membentuk motif, saat mengencang benang perlu tenaga dan teknik terlatih, sehingga benang terjalin kuat.
Desa Sukarara, NTB, adalah kampung kerajinan tenun. Salah seorang pengrajin adalah Yanti, mengaku sejak kecil usia 10 tahun dia sudah mulai pandai menentun.
Yanti belajar menenun dari orangtuanya, hingga menjadi matapencaharian keluarga, selain bertani.
"Delapan jam sehari kami menenun, hanya bisa menghasilkan 10-15 cm Mendapatkan satu lembar kain sepanjang 4 meter memerlukan waktu 1,5 bulan," selorohnya.
Tradisi zaman dulu di Lombok, ungkap Yanti, kalau anak gadis tidak bisa menentun maka tidak boleh kawin.
Dijelaskan penenun lainnya, Ain, ia bersama rekan-rekannya sejak kecil sudah diajarkan orangtua menenun. Sekarang giliran mereka menurunkan keterampilan tersebut kepada anak-anak.
"Kaum perempuan di desa kami semua bisa menenun," ujar Ain.
Adalah Kadri yang menjadi pemandu kerajinan kain tenun di desa ini. Paparnya, memang secara adat anak perempuan yang mau cepat dapat jodoh harus bisa menenun.
"Sebaliknya lelaki tidak diperbolehkan menenun, karena dikuatirkan tidak bisa punya keturunan," ungkap Kadri.
Saat zaman penjajahan Belanda, lanjut Kadri, belum ada benang. Maka nenek moyang mereka menggunakan serat nenas dan serat pelepah pisang menjadi bahan untuk menenun. (dea)