Kalsel Menuju 2017
Selama 2016, Kekerasan Terhadap Anak Terus Meningkat
Satu yang masih hangat karena terjadi pada November tadi, adalah penganiayaan yang dilakukan Fitria Rahayu (31) kepada anak angkatnya DA (8).
BANJARMASINPOST.CO.ID - Sejumlah kasus kekerasan terhadap anak yang menjadi sorotan nasional, juga terjadi di Kalimantan Selatan (Kalsel), khususnya Kota Banjarmasin dan sekitarnya, sepanjang 2016 yang segera berakhir. Pelaku mulai dari orang terdekat korban sampai aparat pemerintah.
Satu yang masih hangat karena terjadi pada November tadi, adalah penganiayaan yang dilakukan Fitria Rahayu (31) kepada anak angkatnya DA (8).
Insiden di kediamannya di Jalan Padat Karya Kompleks Purnama Permai 2 Jalur 10 RT 60 Kelurahan Sungai Andai Kecamatan Banjarmasin Utara itu, ditengara sudah berlangsung dalam kurun waktu satu tahun terakhir.
Akibat tindak kekerasan tersebut, bocah perempuan itu mengalami luka-luka di kepala, sekujur tubuh hingga pembengkakan di alat vitalnya. Berdasar pengakuan anak usia Sekolah Dasar (SD) itu, mata kirinya pernah dicolok tangan hingga bengkak.
Pernah disiram air panas hingga luka bakar di kepala, perut dan punggung. Tangan kanan dan kirinya keseleo akibat diplintir oleh ibu angkat. Dan yang paling sadis, kepala dan kelaminnya dilempar palu hingga memar dan bengkak. Benda terakhir membuat bocah DA trauma.
Terungkapnya kejadian itu ketika ada pihak keluarga lain yang bertandang ke rumah korban. Tak habis pikir atas ulah ibu rumah tangga tersebut, mereka melaporkan ke Satreskrim Polresta Banjarmasin pada Rabu (16/11) pagi.
Polisi cepat merespons. Sorenya mereka menahan Fitria Rahayu. Dalam pemeriksaan, pelaku mengaku melakukan hal semacam itu sekitar setahun terakhir. Dia kesal terhadap DA lantaran bocah yang diadopsi dua tahun lalu itu sering ngompol dan berak di celana dan hal kecil lainnya.
Selain itu, dia jadi sasaran pelampiasan setelah Fitria bertengkar dengan suaminya, Eldi (36).
Sebelum kasus itu, ada Hambali, kakek 58 tahun yang dibekuk aparat Satreskrim Polresta Banjarmasin pada Senin (17/10/2016), atas laporan pencabulan anak di bawah umur.
Lelaki asal Sumatera Selatan itu diduga merundungi tiga bocah perempuan; RN (11), AW (11) dan MN (6).
Dan sebelumnya lagi, ada pelecehan dan tindak tak terpuji oknum Satpol PP Kota Banjarmasin pada 31 Mei 2016. Lima anak di bawah umur, satu di antara perempuan AN (15), mendapat perlakuan tak senonoh. Kedua pelaku telah ditahan dan satu di antaranya langsung diberhentikan.
Tak hanya di Banjarmasin. Di beberapa daerah di Kalsel juga terjadi kasus serupa. Di Kabupaten Tapin, N, seorang anak tiga tahun diperkosa remaja 17 tahun, MH, pada Rabu (11/5/2016) subuh sekitar 04.00 Wita, di Jalan H Isbat atau persawahan Pasar Baru Keraton.
Menurut ibu korban yang berjualan di pasar tersebut, dini hari itu anaknya bermain di halaman rumah. Lalu muncul MH, buruh pasar yang mengajak anaknya berbelanja snack di pasar itu.
Setelah satu jam tidak kembali, si ibu melapor polisi yang kemudian menemukan sang bocah di rumah pelaku. MH mengaku menelan empat butir zenith sebelum kejadian dan beberapa hari sebelumnya menyaksikan video porno.
Kejadian lain yang sempat menyedot perhatian adalah apa yang dialami bocah perempuan kelas 1 SD berinisial SA (7). Awalnya dia ditemukan tewas dalam kondisi mengenaskan di sumur belakang rumahnya.
Warga Desa Tawia, Kecamatan Angkinang, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS), Senin (25/4/2016) petang sekitar pukul 18.00 Wita. Kemaluan dan duburnya berdarah. Perhiasan berupa anting emasnya hilang.
Empat jam berselang, personel Polres HSS dan Polsek Angkinang membekuk Marzuki (27), warga desa yang sama namun beda RT dengan korban. Dalam pemeriksaan, dia mengaku perlu duit untuk membeli pil koplo. Soal memerkosa korban, dia mengaku terpengaruh tontonan porno.
Kasat Reskrim Polresta Banjarmasin, AKP Arief Prasetya mengatakan, sejahat-jahatnya manusia, tidak akan tega melukai apalagi sampai menyiksa seorang anak.
Tetapi inilah dunia. Berbagai bentuk kejahatan bisa terjadi, bahkan yang di luar nalar manusia. Seperti kasus yang saat ini sedang ditangani Unit PPA Satreskrim Polreta Banjarmasin.
Kasus ini menjadi pelajaran bagi semua, bahwa emosi seringkali menggelapkan mata dan menghilangkan nurani. Kejahatan yang sadis bisa terjadi ketika emosi mengalahkan pikiran.
Diharapkan, melalui kasus ini bisa membuka mata hati bahwa semua anak, meskipun hanya seorang anak angkat, adalah amanah yang harus dijaga sampai dia dewasa.
Kekerasan terhadap anak juga menjadi pelajaran juga bagi semua pihak. Orangtua harus lebih menyayangi anak mereka.
Dalam penanganan kasus kekerasan anak, Satuan Reskrim Polresta Banjarmasin punya Unit VI PPA yang saat ini dipimpin oleh Ipda Aulia. PPA singkatan dari Perlindungan Perempuan dan Anak.
Tugas pokok unit ini berkaitan dengan tindak pidana kejahatan terhadap perempuan dan Anak di antaranya KDRT, penganiayaan terhadap perempuan dan anak, perbuatan cabul terhadap anak di bawah umur, perdagangan Anak, penelantaran dan sebagainya yang berkaitan dengan perempuan dan anak.
Unit ini juga melakukan upaya preventif untuk menekan tingkat kejahatan terhadap perempuan dan anak.
Unit PPA dalam melakukan penyidikan bekerja sama dengan lembaga-lembaga terkait seperti P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak), Bapas (Balai Pemasyarakatan) serta LKBHuWK ( Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Untuk Wanita dan Keluarga).
Nurhikmah dari Bidang Pendampingan dan Advokasi Hukum P2TP2A Kota Banjarmasin, menyebut pada 2016 jumlah kasus kekerasan anak meningkat. Kekerasan fisik ada lima, kekerasan seksual 41, kekerasan lainnya ada satu kasus. Jadi total laporan yang masuk ke P2TP2A Kota Banjarmasin ada 47 kasus kekerasan sejak Januari hingga November.
"Kepada anak yang mengalami kasus itu kami lakukan pendampingan. Membantu dalam proses hukum dan lainnya. Jadi jangan segan konsultasi dengan kami," ujarnya.
Kenapa terjadi peningkatan kasus kekerasan terhadap anak? Menurut Hikmah, itu berkorelasi dengan arus informasi yang maju pesat. Konten berbau porno bisa terjangkau mudah, termasuk oleh anak kecil. Itu mengubah tata nilai dalam keluarga, tata nilai dalam pergaulan antar lawan jenis, masyarakat dan lainnya.
Ketua P2PTP2A Kalsel, Evi Nurmina mengatakan, ada 41 kasus kekerasan anak yang ditangani institusinya selama 2016. Kekerasan itu berupa fisik, psikologis dan seksual.
Dia meyakini, kasus kekerasan anak bakal terus meningkat dari tahun ke tahun. Ini terbukti dari data pada 2011 yang 17 kasus dan pada 2016 menjadi 41 kasus.
Institusinya memang bertugas menerima laporan atau pengaduan lalu diklarifikasi. Kemudian korban akan didampingi konsuler.
"Bila ada anak yang mengalami masalah psikologi, akan didampingi psikolog," katanya. Sedangkan jika ada penelantaran, pihaknya akan berkoordinasi dengan dinas sosial.
"Advokasi juga ada untuk penanganan masalah hukumnya," tambahnya.
Bukan hanya menerima laporan, pihaknya juga melakukan sosialisasi pencegahan ke masyarakat, sekolah sampai pengajian. Karena itu P2PTP2A Kalsel senang ada sekolah ramah anak atau kampung ramah anak.
"Tetapi masyarakat juga harus proaktif. Tenaga kami terbatas. Sekolah-sekolah juga harus proaktif memberikan sosialisasi pada orangtua siswa," pinta Evi.
Psikolog Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin, Sukma Noor Akbar menganalisa, kasus kekerasan terhadap anak cukup merata terjadi di seluruh Indonesia dan tingkatnya sudah sangat memprihatinkan.
“Data itu adalah yang terlapor saja, angka kekerasan kepada anak sebenarnya lebih daripada jumlah tersebut,” kata dia.
Dan Sukma menilai sebenarnya Indonesia mengalami darurat kekerasan terhadap anak. Penyebabnya, di antaranya kurangnya pengetahuan cara mendidik anak, hukuman kekerasan fisik masih dianggap sebagai suatu yang normal dalam mendisiplinkan anak dan faktor ekonomi serta kontrol emosi orangtua yang rendah.
Sukma menyebut, anak yang menjadi korban kekerasan, secara fisik tampak luka, kesakitan, cedera atau masalah medis lainnya.
Di samping itu, secara psikologis anak akan juga terlihat berbeda. Jika sebelumnya dia seorang yang ceria, maka cenderung menarik diri, murung, mudah marah, prestasi sekolah menurun, agresif, perasaan takut yang berlebih, bahkan depresi.
"Ada beberapa cara yang bisa kita lakukan agar anak berani mengatakan tidak suka dan berani melaporkan kejadian pada orangtua atau guru. Bangun kepercayaan dirinya dan selalu memberi dukungan, memfasilitasi perasaan anak misalnya dengan mengajak bermain, berbicara tentang perasaan dan ketakutan serta respons lainnya," tutur Sukma.
Untuk menghindari menjadi korban kekerasan fisik, psikologis dan seksual tentunya adanya harus ada penguatan peran dari sekolah, anak bisa dilatih untuk diberikan bekal pengetahuan tentang apa saja yang dinamakan dengan kekerasan.
Juga menghindari orang asing ketika menyentuh bagian sensitifnya, melaporkan kepada guru atau pihak berwajib ketika anak menjadi korban kekerasan dan masyarakat juga lebih peduli ketika ada orang di sekitarnya yang melakukan kekerasan pada anak.
Pengamat sosial Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Antasari Banjarmasin, Aulia Aziza mengatakan, kekerasan terhadap anak adalah krisis senyap di Indonesia dan hanya akan berhenti jika semuanya; orangtua, guru, pemuka masyarakat dan pemerintah bekerja sama dan melindungi semua anak seperti mereka anaknya sendiri.
Dia menyebut, kekerasan fisik maupun psikis, biasanya disebabkan oleh faktor kepribadian. Contohnya otoriter, kaku, kasar, agresif. Selain itu, bisa disebabkan tekanan pekerjaan, ekonomi, masalah keluarga dan lain-lain.
Karena itu ada pencetus dari korban dan pelaku. Contohnya, adanya pencetus dari korban, biasanya anak-anak rewel, aktivitas mereka berlebihan, tidak menurut perintah, merusak barang-barang
Mengutip Aris Medeka Sirait, kata Aulia, ada empat penyebab utama terjadinya kekerasan terhadap anak. Pertama, ada anak yang berpotensi menjadi korban.
“Ada anak nakal, bandel, tidak bisa diam, tidak menurut, cengeng, pemalas, penakut. Anak-anak seperti inilah yang sangat rentan oleh kekerasan fisik dan psikis. Karena ada faktor bawaan seperti anak tersebut memang hiperaktif, selain itu ada faktor dari ketidaktahuan orangtua, maupun guru sebagai pendidik anak-anak,” jelasnya.
Kedua, ada anak atau orang dewasa yang berpotensi menjadi pelaku kekerasan. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya meniru orangtua, teman, siaran televisi, video game, film.
Selain itu, pernah mengalami sebagai korban bullying dari sesama anak, korban kekerasan dari anak dewasa, dan adanya tekanan dari kelompok.
Satu contoh kasus ini adalah seorang anak SD yang membunuh temannya dan mengaku terinspirasi dari salah satu tayangan sinetron TV swasta.
Sedangkan untuk orang dewasa yang berpotensi menjadi pelaku, dia menggolongkan menjadi dua yakni pelaku kekerasan fisik psikis dan pelaku kekerasan seksual. Biasanya disebabkan oleh faktor kepribadian.
Keempat karena adanya pencetus dari korban dan pelaku. Contohnya, anak ke toilet sendiri, berpakaian seksi, sering dipeluk dan dipangku, dapat mencetuskan kekerasan seksual.
Sedangkan terkait pencetus yang berasal dari pelaku, untuk kekerasan fisik dan psikis biasanya disebabkan oleh kondisi dalam keadaan tertekan, ekonomi, masalah rumah tangga.
Adapun upaya preventif yang dapat dilakukan dalam mengurangi tingkat kekerasan pada anak adalah dengan penguatan dari keluarga, dengan aspek hukum dan dengan aspek spiritual.
Dan yang paling terpenting adalah menjalin komunikasi yang baik dengan anak, sehingga orangtua akan menjadi orang pertama yang paling dipercayai untuk menyampaikan masalah dan meminta saran.
"Ciptakan suasana rumah yang nyaman. Jaga emosi setiap orang yang ada dirumah. Dan satu hal lagi yang juga sangat bisa membantu adalah mendekaktkan diri pada Allah (atau menurut kepercayaan masing-masing). Dalam agama Islam anak adalah harta titip Allah, haruslah dijaga sebaik mungkin, karena itu orangtua akan diminta pertanggungjawabannya kelak," terangnya. (ire)
