Pungutan (Lagi) Sekolah

Contohnya, sekolah mewajibkan siswa mambayar uang ijazah. Jika tidak, siswa bersangkutan tidak mendapatkan surat tanda kelulusan tersebut.

Editor: BPost Online
BPost Cetak
Ilustrasi 

NYONYA Dellys mewakili ribuan orangtua siswa di daerah yang gelisah menyusul kebijakan baru Kemendikbud. Bukan apa-apa. Sang menteri, Muhadjir Effendy entah atas dasar apa mengeluarkan beleid membolehkan kembali sekolah melakukan pungutan. Dan, kabarnya, kebijakan itu sudah bisa dilaksanakan tahun ajaran baru 2017 ini.

Padahal, belum genap enam bulan, Mendikbud sebelumnya, Anies Baswedan secara tegas melarang sekolah menerapkan pungutan di sekolah. Langkah Anies itu sejalan dengan program pemerintah membentuk tim saber pungli yang dikoordinatori Menko Polkam.

Tapi, yang sungguh membuat kita seperti orang bodoh untuk memahami kebijakan soal pungutan ini adalah bahwa kebijakan itu direstui oleh Menko Polkam.

Memang, jika kita menyimak bunyi beleid menteri itu, kita bisa memahami bahwa sekolah memang tidak bisa sembarangan melakukan pungutan terhadap siswa. Bahkan, kita melihat menteri sengaja membatasinya. Tengok saja bunyi kalimat beleid itu, “sekolah diizinkan menghimpun dana dari masyarakat, seperti donatur dan alumni. Terutama alumni dari sekolah yang sudah sukses.”

Artinya di sini kita melihat ruang yang disediakan untuk sekolah terbatas hanya pada donatur dan alumni sekolah. Di luar itu tentunya tidak dibenarkan.

Kita tentunya tidak menginginkan beleid pemerintah itu ditangkap dengan cara pandang yang lain oleh sekolah. Jangan sekolah kemudian menafsirkan kebijakan pembolehan pungutan itu seolah sebagai bentuk legalitas sekolah untuk menerapkan kebijakan berbagai bentuk pungutan kepada siswa. Apalagi kepala sekolah sebagai pengelola sekolah selalu berdalih dana BOS yang diberikan pemerintah sangat jauh dari cukup untuk membiayai operasional sekolah.

Jujur saja, jika kebijakan Mendikbud ditafsirkan seperti itu, yang terjadi adalah kembalinya pungutan liar di lingkungan sekolah. Soalnya, sekolah selalu berdalih bahwa pungutan itu diperlukan untuk membiayai berbagai kegiatan proses belajar mengajar.

Contohnya, sekolah mewajibkan siswa mambayar uang ijazah. Jika tidak, siswa bersangkutan tidak mendapatkan surat tanda kelulusan tersebut. Satu dari puluhan bentuk kewajiban (pungli) seperti ini yang sering terjadi di sekolah. Kita mendukung Wakil Wali Kota Banjarmasin Hermansyah yang mengancam menggugat kebijakan Mendikbud jika itu merugikan siswa.

Memang, kebijakan baru Mendikbud tidak harus ditelan mentah-mentah oleh para pengelola sekolah negeri. Di sisi lain, pemerintah dalam hal ini Kemendikbud harus melakukan sosialisasi secara benar sehingga tidak terjadi mispersepsi atas kebijakan yang dibuat.

Sangat konyol ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan baru, sementara kebijakan itu justu bertolak belakang dengan program pemerintah yang ingin memberangus bentuk-bentuk pungutan liar. Kita semua tahu, sekolah adalah salah satu lumbung pungli!

Dan, wajar, kalau Nyonya Dellys dilanda kegelisahan, karena dia bakal banyak mengeluarkan biaya untuk berbagai pungutan di tempat putranya bersekolah. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Pahlawan Prisma

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved