Berita Banjarmasin
Keringat Seminggu Demi Lembaran Dua Ribu, Pengrajin Tanggui Alalak Selatan Tetap Bertahan
Pelindung kepala yang terbuat dari daun nipah ini disebut tanggui. Masyarakat Banjar biasanya menggunakan tanggui saat pergi ke sawah.
Penulis: M Fadli Setia Rahman | Editor: Eka Dinayanti
BANJARMASINPOST.CO.ID, BANJARMASIN - Pelindung kepala yang terbuat dari daun nipah ini disebut tanggui. Masyarakat Banjar biasanya menggunakan tanggui saat pergi ke sawah.
Penutup kepala yang unik ini kerap digunakan warga saat bertani dan beraktivitas lainnya di luar rumah. Kegunaan tanggui untuk melindungi diri dari panas terik matahari.
Bisa dikatakan tanggui ini adalah satu kerajian tradisional khas Banjar. Di permukiman warga Banjar dulunya pasti ada tanggui tersemat di teras atau dapur rumah.
Masih ada kah pengrajin tanggui di Banjarmasin sekarang ini? Satu kawasan di Alalak Selatan tepatnya di sepanjang jalan menuju Dermaga Wisata Pasar Terapung Citra Bahari masih bertahan sejumlah pengrajin tanggui.
Pantauan ke lokasi, terhampar daun nipah yang digunakan untuk bahan tanggui di sepanjang jalan tersebut. Khususnya para ibu di sana, mayoritas usahanya adalah membuat tanggui.
Menurut keterangan warga setempat, usaha itu sudah berlangsung puluhan tahun. Jadi usaha sampingan untuk menopang hidup sehari-hari.
Sementara bapak-bapaknya mencari nafkah di perairan, ibu-ibunya membuat tanggui di rumah.
Paling tampak terlihat para pengrajin tanggui memang di kawasan dermaga dekat Pos Multifungsi Satpolair Polresta Banjarmasin.
Namun di beberapa gang juga belasan pengrajin tetap bertahan dalam rajutan tanggui penambah rezeki tersebut.
Satu pengrajin tanggui yang dijumpai adalah Tika (30). Saat dijumpai dia saat itu sedang mengayam tanggui. Dikatakannya pekerjaan itu sudah dilakoni sejak masih remaja.
Tetap bertahan sampai sekarang karena hanya itu kebiasaannya. Sehari rajutan tanggui bisa selesai. Namun proses akhirnya bisa sampai seminggu karena menunggu pengeringan.
Ya, keringat seminggu hanya untuk lembaran uang Rp 2000. Meski demikian, hal itu tetap dilakoni dengan nyaman dan hati bahagia.
"Dijualnya Rp 2000 saja untuk rajutan tanggui ini. Daripada berdiam diri di rumah, maka itu lebih baik mengerjakan ini," kata Tika sembari mengucap harga borongan per tanggui bisa Rp 1500.
Dilanjutkannya, mengolah tanggui itu tidak rumit. Dirinya belajar dari para orang tua yang lebih dahulu menekuni pekerjaan membuat tanggui.
"Masih banyak yang bertahan dengan pekerjaan membuat tanggui ini. Masih banyak dicari, khususnya warga yang tinggal di perdesaan. Nantinya tanggui ini dikemas dan dirajut lagi supaya ada semacam topinya di dalam dan bisa dikenakan," bebernya.
Sehari, rajutan tanggui yang bisa diolah bisa mencapai 10-15 tanggui. Namun sekali lagi dia mengatakan, harus menunggu kering dulu daun nipah, baru tanggui bisa digunakan.
Meski mayoritas pembuat tanggui adalah ibu-ibu, ada juga bapak-bapak yang ikut membuat tanggui.
Masih di tempat yang sama seorang lelaki tampak terampil mengayam dan merajut daun nipah jadi tanggung.
Dialah Mulyadi (45) yang juga warga setempat. Masih tetanggaan dengan Tika.
"Untungnya tidak seberapa juga membuat tanggui ini, tapi tidak apa-apa untuk menambah penghasilan," bebernya.
Seikat daun nipah dia membeli seharga Rp 600. Dan nantinya dari bahan itu semua dirajut dengan penyangga lidi untuk menyatukan daun.
"Nanti ada yang membeli lagi rajutan awal ini. Baru dikemas menjadi tanggui siap pakai," pungkasnya.
