Serambi Ummah

Bulan Safar Identik dengan Bulan Sial, Saatnya Tolak Bala di Hari Arba Mustakmir, ini Zikirnya

Bulan Safar Identik dengan Bulan Sial, Saatnya Tolak Bala di Hari Arba Mustakmir, ini Zikirnya

Penulis: Yayu Fathilal | Editor: Restudia
istimewa
Bulan Safar 

BANJARMASINPOST.CO.ID - Saat ini, berdasarkan kalender Islam atau Hijriyah kita sedang berada di bulan Safar.
Bulan Safar ini biasanya identik dengan bulan sial, terutama sekali di hari Rabu terakhirnya.

Dipercaya di hari tersebut Allah menurunkan ribuan bala bencana seperti penyakit, dan sebagainya.

Banyak orang Islam percaya di bulan ini harus melakukan ritual-ritual penolakan bala.

Di Jawa, ada tradisi Rebo Wekasan sementara di Kalimantan Selatan ada tradisi Arba Mustakmir.
Baik Rebo Wekasan maupun Arba Mustakmir digelar tiap Rabu terakhir bulan Safar.

Baca: Hukum Ziarah Kubur dan Berdoa di Rabu Terakhir Bulan Safar Menurut Ustadz Abdul Somad

Baca: Mitos Bulan Safar Bulan Sial, Ini Doa Agar Umat Muslim Terhindar Dari Percaya pada Mitos

Baca: Pengumuman Hasil Seleksi Administrasi Pendaftaran CPNS 2018 Kemenag Bisa Via Sscn.bkn.go.id

Baca: Klik Link 50 Instansi yang Umumkan Hasil Seleksi Administrasi CPNS 2018 via sscn.bkn.go.id

Saat Arba Mustakmir, dianjurkan untuk memperbanyak ibadah, zikir, dan perbuatan baik lainnya sebagai bentuk penolakan bala tersebut.

Tahun ini, Arba Mustakmir bertepatan pada Rabu (7/11/2018) atau 29 Safar 1440 Hijriyah.

Dikutip dari berita yang pernah diterbitkan Banjarmasinpost.co.id pada Rabu (15/11/2017) lalu, disebutkan bahwa

Arba Mustamir atau Rebo Wekasan adalah istilah yang digunakan untuk menyebut hari Rabu terakhir di bulan

Safar masih diyakini sebagian kalangan masyarakat sebagai hari yang sakral.

Di sebagian masyarakat Banjar, tradisi memperingati Arba Mustamir pun masih dilakukan hingga saat ini.

Di sebagian kalangan masyarakat Banjar, bulan Safar dianggap sebagai “bulan sial, bulan panas, bulan diturunkannya bala, dan bulan yang harus diwaspadai keberadaannya”.

Soal Arba Mustamir ini, Ketua PWNU Kalsel, Syarbani Haira memiliki pandangan tersendiri seperti yang disampaikan kepada Bpost Online.

"Saya teringat penjelasan Ustadzuna Alhabib Taufiq bin Abdul Qodir Asseggaf, dari Pasuruan, sebagai berikut : Istilah Arba Mustamir, yang kebetulan hari ini adalah Rabu terakhir Bulan Shofar yang di Jawa dikenal dengan istilah Rabu Pungkasan, yang oleh sebagian ummat diyakini sebagian orang sebagai hari sial," kata dia.

Syarbani melanjutkan, dikisahkan dahulu orang-orang Jahiliyah Arab meyakini bahwa Akhir Rabu ini (Bulan Shofar) sebagai Hari Naas dan Hari Bala. Sehingga mereka menghentikan semua aktifitasnya. Toko ditutup, pekerjaan mereka tinggalkan, bahkan mereka menutup rumahnya rapat-rapat. Mereka tidak mau keluar rumah karena takut mendapatkan bala.

Mereka serba ketakutan. Maka Rasulullah SAW datang membawa agama rahmat ini, meniadakan hal yang seperti itu. Beliau SAW bersabda:
لَا عَدْوَى وَلَا طِيرَةَ وَلَا صَفَر

Tidak ada itu gara-gara si A akhirnya datang penyakit menular kepada yang lainnya. Tidak ada itu gara-gara burung ini atau itu akhirnya datang bala`, tidak ada pula gara-gara bulan Shofar.”

Karena itu, tidak boleh kita menyakini di hari itu akhirnya kita apes semuanya, tidak!

Disinilah para ulama' salaf mengubah image Hari Rabu itu. Diubah image-nya yang asalnya ketakutan, diubah menjadi penuh harapan.

Jadi, hari ini berubah menjadi hari penuh harapan.

Mereka dulu ketakutan tapi diganti ayo baca-baca Al-Quran, baca-baca dzikir.

Dianjurkan beberapa dzikir di antaranya membaca Surat Yasin (ketika sampai ayat)

''Salamun qoulam mir rob birrohim '' dibaca 313x , dengan tafaul/berharap dengan jumlah sahabat perang badar yang sebanyak 313 insya Alloh kita ''Salam..'' dijadikan orang yang selamat. Yang asalnya ketakutan menjadi harapan.

Kemudian yang asalnya di dalam rumah karena takut (jika keluar) kena bala' malah diadakan satu demostratif begitu, oleh salafus soleh, keluar/pergi keluar kota. Itu sebenarnya bukan dianjurkan/disunahkan pergi keluar kota, tidak.

Itu sebagai penentangan terhadap pengaruh jahiliyyah, yang asalnya mereka susah, ketakutan malah dianjurkan untuk berbahagia.

Sampai-sampai di antara mereka (salafussoleh) membuat mayoran (berkumpul makan bersama) potong kambing. Masih inget kita dulu ada di Umbulan (salah satu tempat rekreasi di Pasuruan) bersama Habaib dulu itu.
Itu sebagai ''protes'' jangan kita seperti orang jahiliyyah yang ketakutan di hari ini...maka kita berbahagia bersama-sama tapi sambil berdo'a, bukan melupakan diri kepada Alloh SWT.

"Jadi ajaran itu sebenarnya bukan ajaran bi'dah justru itu adalah menentang dari pada keyakinan jahiliyyah" tuturnya. Alhamdulillah, terang Syarbani kita diatur semuanya oleh salafus soleh.

Coba baca ini, baca ini, baca Al Qur'anul Karim, ''salamun qoulam...” dan seterusnya' dengan harapan selamat.

Kenapa Tidak? setiap ada ayat rahmat kita dianjurkan memohon kepada Alloh, setiap ada ayat adzab kita dianjurkan juga meminta perlindungan kepada Alloh.

"Tidak ada masalah...ajaran-ajaran ini. Semuanya adalah Islami, justru ini adalah mengeluarkan kita dari pada keyakinan-keyakinan jahiliyyah," tambahnya

Salah sekali kalau ada yang mengatakan itu adalah karena pengaruh jahiliyyah, justru itu adalah omongan-omongan orang yang jahil (bodoh), karena ini adalah sebagai bentuk ''protes'' , sebagai bentuk penentangan terhadap keyakinan jahiliyyah, yang diajarkan salafus soleh. Alhamdulillah 'ala dzalik.

Jadi akhir Rabu jangan ada yang meyakini hari itu adalah hari na'as, tapi anda juga jangan jadi orang lupa/lalai kepada Allah, ibadah juga pada Allah biar selamat, jangan seakan-akan menantang turunnya adzab Allah...kenektemenan (kena sungguhan) nanti, itu sombong namanya.

Tetap mengharap selamat kepada Alloh, dengan membaca Al Qur'an, dengan berdzikir kepada Allah swt. Kemudian aktifitas seperti biasa, malah orang-orang dahulu lebih menggunakan ''liburlah tidak ada masalah, tapi libur untuk rekreasi, kemudian mayoran''.

"Itu dahulu...tapi tidak harus... Mudah-mudahan kita semua jadi pengikut salafus soleh. Aamin. Intinya di kalangan Nahdliyyin atau warga NU ada dua pandangan yang berbeda, yaitu : pertama, ada yang percaya bahwa ada bala' memang yang diturunkan. Pendapat ini mengacu pada kitab Kanzun Najah ad-Dayraby," katanya.
Kedua, lanjutnya pendapat yang menyatakan tidak ada bala' pada bulan-bulan tertentu, termasuk sangkaan bala' di Safar.

"Saya pribadi memilih pendapat yang kedua ini, di samping ini juga pandangan Muktamirin Nahdlatul Ulama, dan juga fatwa preventif dari Rais Akbar bahwa tak boleh melaksanakan shalat arba mustamir itu, yang di jawa dikenal dengan istilah Rabu wekasan tersebut," terangnya.

Namun terkait dengan amalan-amalan pada hari Arba Mustamir, atau rebo Wekasan tadi, di daerah2 yang faham agamanya kurang dalam, kerapkali dirubah oleh ulamanya atau kyainya sebagai hari PENUH HARAPAN.
Maka itu, rasa ketakutan adanya bala, bisa berubah menjadi adanya harapan.

"Caaranya dengan membaca doa dan dzikir. Agar tidak bertabrakan dengan PBNU, maka langkah yanh ditempuh adalah tidak melaksanakan sholat LIDAF IL BALAK, tapi SHOLAT MUTLAQ yang bisa dilakukan kapan saja. Sehingga aktifitas ibadah berjalan tanpa harus menanggung dosa lainnya," pungkasnya.

(BANJARMASINPOST.co.id/yayu fathilal/rahmadani)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved