Bolehkah Orang Positif Virus Corona Ikut Salat Jumat? Ini Penjelasan Terkait Fatwa MUI Soal Covid-19

Baru-baru ini, Majelis Ulama Indonesia ( MUI) mengeluarkan fatwa terkait ibadah salat jumat di tengah wabah Virus Corona ( Covid-19).

Editor: Murhan
(FAZRY ISMAIL/EPA-EFE)
Jemaah shalat Jumat di Masjid Nasional Kuala Lumpur, Malaysia, 13 Maret 2020. Terlihat seorang pria memakai masker di tengah merebaknya virus corona di Malaysia. 

Di beberapa kitab fiqih banyak dijelaskan tentang ancaman dan beratnya dosa meninggalkan Jumat tanpa udzur syar’i (alasan yang diterima syariat).

Namun di sisi lain, agama menganjurkan agar menjaga kesehatan, baik untuk keselamatan individu atau jamaah.

Hal tersebut dapat dibuktikan misalnya dengan kesunnahan berobat bagi orang sakit, anjuran menjaga lingkungan yang sehat, kewajiban kolektif belajar ilmu medis, bahkan agama mewajibkan kepada pemerintah untuk membantu biaya berobat orang sakit yang tidak mampu dalam kondisi kas negara memadai.

Bila tidak memungkinkan pembiayaan dari kas negara, kewajiban tersebut dibebankan kepada orang Muslim yang kaya.

Menjadi sesuatu yang cukup dilematis bagi orang yang mengidap penyakit menular (berdasarkan tinjauan medis).

Di satu sisi, Jumatan adalah kewajiban, di sisi yang lain penyakit menularnya akan membahayakan keselamatan jamaah lain.

Sebetulnya, apakah orang yang mengidap penyakit menular tetap wajib Jumatan? Atau justru dilarang hadir?

Salah satu dasar teologis wujud faktanya penyakit menular adalah hadits Nabi:

فِرَّ مِنَ الْمَجْذُومِ فِرَارَكَ مِنَ الْأَسَدِ

“Menghindarlah dari pengidap penyakit lepra seperti engkau menghindar dari singa” (HR. Ahmad, al-Bukhari, dan lainnya).

Al-Imam al-Syafi’i sebagaimana dikutip Syekh Khatib al-Syarbini menegaskan:

الجذام والبرص مما يزعم أهل العلم بالطب والتجارب أنه يعدي كثيرا، وهو مانع للجماع لا تكاد نفس أحد أن تطيب أن يجامع من هو به، والولد قل ما يسلم منه

“Lepra dan kusta adalah salah satu penyakit yang diduga oleh pakar kedokteran dapat menular secara massif. Penyakit tersebut dapat mencegah hubungan badan, hampir pasti tidak ditemukan seseorang yang bersedia berhubungan badan dengan pengidap penyakit tersebut. Anak pengidap penyakit tersebut jarang sekali selamat dari penularan penyakit yang diderita bapak/ibu biologisnya” (Syekh Khathib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj [Beirut: Dar al-Ma’rifat Beirut], juz 3, hal. 268).

Wujudnya penyakit menular tidak bertentangan dengan hadits Nabi “tidak ada penyakit menular”, sebab hadits tersebut konteksnya adalah penolakan terhadap anggapan kaum jahiliyah bahwa menularnya penyakit bukan dari perbuatan Allah, namun dari kekuatan penyakit itu sendiri.

Dalam lanjutan referensi di atas, Syekh Khatib al-Syarbini kembali menegaskan:

Sumber: Kompas.com
Halaman 2 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved