Bolehkah Orang Positif Virus Corona Ikut Salat Jumat? Ini Penjelasan Terkait Fatwa MUI Soal Covid-19

Baru-baru ini, Majelis Ulama Indonesia ( MUI) mengeluarkan fatwa terkait ibadah salat jumat di tengah wabah Virus Corona ( Covid-19).

Editor: Murhan
(FAZRY ISMAIL/EPA-EFE)
Jemaah shalat Jumat di Masjid Nasional Kuala Lumpur, Malaysia, 13 Maret 2020. Terlihat seorang pria memakai masker di tengah merebaknya virus corona di Malaysia. 

فإن قيل كيف قال الشافعي إنه يعدي وقد صح في الحديث لا عدوى؟ .أجيب بأن مراده أنه يعدي بفعل الله لا بنفسه والحديث ورد ردا لما يعتقده أهل الجاهلية من نسبة الفعل لغير الله تعالى وأن مخالطة الصحيح لمن به شيء من هذه الأدواء سبب لحدوث ذلك الداء

“Jika dipertanyakan; bagaimana mungkin Imam al-Syafi’i mengatakan lepra dan kusta menular, sementara terdapat hadits shahih; “tidak ada penyakit menular”. Kejanggalan tersebut dijawab bahwa yang dikehendaki al-Syafi’i adalah penyakit menular karena perbuatan Allah, bukan karena perbuatan penyakit itu sendiri. Sedangkan konteksnya hadits adalah penolakan terhadap keyakinan kaum Jahiliyyah yaitu penisbatan perbuatan kepada selain Allah, dan bahwa bergemulnya orang sehat dengan pengidap penyakit-penyakit tersebut merupakan penyebab (dalam konteks hukum kebiasaan, bukan hukum hakikat) terjadinya penyakitnya menular”. (Syekh Khathib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 3, hal. 268-269, cetakan Dar al-Ma’rifat Beirut Lebanon).

Dalam tinjauan fiqih Jumat, penderita penyakit menular tidak terkena tuntutan kewajiban Jumatan, sebab dapat memberikan rasa tidak nyaman kepada jamaah lain, bahkan melebihi ketidaknyamanan jamaah disebabkan bau aroma tidak sedap orang yang mengonsumsi semisal jengkol.

Pertimbangan mengganggu jamaah lain ditegaskan para ulama menjadi salah satu faktor yang menyebabkan gugurnya kewajiban Jumatan.

Syekh Muhammad bin Ahmad al-Ramli sebagaimana dikutip Syekh Abdul Hamid al-Syarwani mengatakan:

عبارة النهاية ومثل ذلك من بثيابه أو بدنه ريح كريهة كدم فصد وقصاب وأرباب الحرف الخبيثة وذي البخر والصنان المستحكم والجراحات المنتنة والمجذوم والأبرص ومن داوى جرحه بنحو ثوم؛ لأن التأذي بذلك أكثر منه بأكل نحو الثوم

“Redaksi kitab al-Nihayah; Disamakan dengan hal tersebut di atas (pengonsumsi semisal bawang yang menyebabkan bau mulut tidak sedap) yaitu orang yang di pakaian atau badannya terdapat bau yang dibenci (tidak sedap) seperti darah bekam, tukang kayu dan pekerja-pekerja rendahan, orang yang memiliki bau mulut yang akut, pengidap luka-luka yang berbau anyir, pengidap lepra dan kusta serta orang yang pengobatan lukanya membutuhkan semisal bawang, sebab mengganggu jamaah dengan hal yang tersebut di atas lebih besar dari mengonsumsi semisal bawang” (Syekh Abdul Hamid al-Syarwanin, Hasyiyah al-Syarwani ‘ala al-Tuhfah [Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah], juz 3, hal. 54).

Tidak hanya gugur kewajiban Jumatnnya, penderita penyakit menular juga dilarang masuk masjid, shalat Jumat dan bergemul dengan orang sehat. Dalam lanjutan referensi di atas, Syekh Abdul Hamid al-Syarwani mengatakan:

ومن ثم نقل القاضي عياض عن العلماء منع الأجذم والأبرص من المسجد، ومن صلاة الجمعة، ومن اختلاطهما بالناس.

“Dan karena pertimbangan di atas, al-Qadli ‘Iyadl mengutip dari para Ulama perihal tercegahnya pengidap penyakit lepra dan kusta dari memasuki masjid, melaksanakan shalat Jumat dan bergemul dengan manusia (yang sehat)”. (Syekh Abdul Hamid al-Syarwanin, Hasyiyah al-Syarwani ‘ala al-Tuhfah [Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah], juz 3, hal. 54).

Dalam referensi lain ditegaskan, kewajiban mencegah pengidap lepra dan kusta dibebankan kepada siapa pun yang mampu, baik pemerintah atau warga sipil, sebab pencegahan penularan penyakit tersebut bagian dari amar ma’ruf nahi munkar (memerintah kebaikan dan mencegah kemunkaran).

Syekh Ibnu Ziyad dalam himpunan fatwanya mengatakan:

يجب منع الأبرص والمجذوم من الجماعة ومن مخالطة الناس، سواء الإمام وغيره ممن قدر على ذلك، لأنه من باب الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر.

“Wajib mencegah pengidap lepra dan kusta dari shalat Jamaah dan bergemul dengan orang sehat, baik imam atau lainnya dari orang yang mampu mencegahnya, sebab pencegahan tersebut merupakan bagian dari memerintah kebaikan dan mencegah kemunkaran”. (Syekh Ibnu Ziyad, Ghayath Talhkhish al-Murad, hal. 28).

Pencegahan terhadap penderita penyakit menular dari interaksi sosial meniscayakan ia tidak dapat bekerja dan beribadah dengan maksimal.

Sumber: Kompas.com
Halaman 3 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved