Opini Publik
Uji Nyali Bank Indonesia di Masa Pandemi
Dalam pandangan DPR, cetak uang bisa menjadi opsi bagi pembiayaan pemerintah untuk memitigasi dampak ekonomi pandemi Covid-19.
Oleh: Haryo Kuncoro, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta, Direktur Riset SEEBI
(the Socio-Economic & Educational Business Institute) Jakarta, Doktor Ilmu Ekonomi Lulusan PPs-UGM Yogyakarta
Editor: Alpri Widianjono
BANJARMASINPOST.CO.ID - Perdebatan ‘hangat’ terjadi antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Bank Indonesia (BI) terkait dengan wacana cetak uang. Di satu sisi, Badan Anggaran DPR mengusulkan agar BI mencetak uang senilai Rp 600 triliun sebagai upaya penyelamatan ekonomi nasional di tengah wabah Covid-19.
Dalam pandangan DPR, cetak uang bisa menjadi opsi bagi pembiayaan pemerintah untuk memitigasi dampak ekonomi pandemi Covid-19 di Indonesia. Dalam situasi ekonomi global yang cenderung lemah, mencari sumber pembiayaan eksternal tidak mudah, meskipun melalui penerbitan obligasi global dengan suku bunga yang tinggi.
Di sisi yang lain, BI menegaskan tidak akan melakukan cetak uang. Dalam pandangan BI, cetak uang rupiah sudah memiliki prosedur baku dengan tata kelola yang ketat. Oleh karenanya, cetak uang -- apalagi membagikannya langsung kepada masyarakat -- tidak lazim dalam praktik kebijakan moneter di berbagai negara.
Dua perbedaan pendapat di atas tampaknya berawal dari cara pandang yang berbeda terhadap eksistensi ‘uang’. Perbedaan cara pandang menghasilkan implikasi yang berbeda pula. DPR memandang uang sebagai ‘sebab’. Oleh karena itu, cetak uang secara masif diperlukan untuk mendorong kinerja perekonomian.
Sementara BI menganggap uang tetap harus diposisikan sebagai ‘akibat’ dari aktivitas ekonomi. Dengan argumen ini, BI meskipun mempunyai kewenangan tetapi enggan untuk cetak uang. Bagi BI, masih ada alternatif cara lain untuk mengatasi persoalan ekonomi sesuai dengan koridor kewenangan yang dimilikinya.
Melepaskan diri untuk sementara dari perbedaan dua cara pandang di atas, uang dalam sejarahnya diciptakan untuk memfasilitasi pertukaran barang/jasa. Jauh sebelum mengenal uang, manusia memenuhi kebutuhannya dengan barter. Barter mensyaratkan barang/jasa yang dipertukarkan harus bisa saling memenuhi kebutuhan kedua belah pihak.
Kesulitan menemukan mitra barter yang cocok mendorong kebutuhan akan alat tukar. Dengan perantaraan uang, barang/jasa yang akan dibarterkan cukup dijual kepada pihak ketiga. Uang hasil penjualan dari pihak ketiga bisa dibelikan barang/jasa kebutuhannya kepada pihak lainny lagi. Intinya, uang sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan.
Dalam posisinya sebagai media pertukaran (medium of exchange), perpindahan uang antara pelaku ekonomi satu dengan pelaku ekonomi lain senantiasa disertai dengan transaksi barang/jasa sebagai aset rujukannya. Barang/jasa yang ditransaksikan adalah barang ekonomi yang mempunyai harga, alih-alih barang bebas yang tidak memiliki harga.

1. (Catatan Pilkada Kalimantan Selatan) Calon Kepala Daerah Makin Saleh |
|
---|
Ada Apa dengan Dana Pihak Ketiga Perbankan? |
![]() |
---|
Nestapa Demokrasi di Masa Pandemi Covid-19 |
![]() |
---|
Menjawab Kebutuhan Pendidikan Masa Depan, Tantangan Guru Adaptif di Era Disrupsi |
![]() |
---|
Refleksi Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional: Keluarga sebagai Solusi Konservasi |
![]() |
---|