Kisah Inspiratif
Pengabdian Guru SD di Desa Terpencil Tanahlaut, Setiap Saat Semangati Murid ke Sekolah
Kesadaran bersekolah yang masih rendah membuat guru harus gigih menyemangati orangtua dan murid.
EEditor: Eka Dinayanti
BANJARMASINPOST.CO.ID, PELAIHARI - Berbeda dengan di perkotaan yang kesadaran bersekolah sangat tinggi, di perdesaan apalagi terpencil tidaklah demikian.
Masih banyak orangtua yang tidak peduli dengan pendidikan anaknya.
Setidaknya ini dirasakan Norsahidah SPdI, guru di UPTD SD Negeri 2 Riam Adungan, Kecamatan Kintap, Kabupaten Tanahlaut.
Kesadaran bersekolah yang masih rendah membuat guru harus gigih menyemangati orangtua dan murid.
Kalaupun lulus SD, yang mau melanjutkan ke SMP juga sedikit.
• Bersama Al Ghazali, Aaliyah Massaid Asyik Nikmati Ini Kala Reza Artamevia Diamankan Polisi
• Karena Anya Geraldine, Rizky Febian Sebut Sule Sempat Dapat Ancaman Dibunuh
• Bersama Al Ghazali, Aaliyah Massaid Asyik Nikmati Ini Kala Reza Artamevia Diamankan Polisi
Perbandingannya 70:30 atau 70 persen tak melanjutkan dan 30 yang mau lanjut ke SMP.
Jangankan melanjutkan, untuk selalu hadir ke sekolah saja anak-anak harus disemangati.
Syukurlah tidak seperti dulu yang banyak anak tidak masuk, bahkan ada yang dalam sebulan cuma 2-3 kali hadir.
Norsahidah, yang juga lulusan SD setempat, merupakan satu-satunya di angkatannya yang melanjutkan sekolah.
Oleh karena pada akhir 90-an itu belum ada SMP di kawasan setempat, dia harus ke Kintap.
“Saya lanjut ke MTs dan SMA di Kintap. Jadi selama melanjutkan sekolah harus tinggal terpisah dengan orangtua,” ujar guru kelahiran Pelaihari pada 1986.
Saat ini di Riam Adungan sudah ada SMP.
Tapi jarak dengan SD tempat ia bekerja cukup jauh yaitu 10 kilometer.
Itu juga yang menjadi alasan tidak banyak lulusan SD di sana yang melanjutkan sekolah meski untuk kesadaran orangtua menyekolahkan anak khususnya level sekolah dasar sudah baik.
“Kondisi jalan yang masih tanah berbatu dan sering becek juga kadang banjir di musim hujan. Ini juga penghambat akses. Sebenarnya Riam Adungan ini masih desa terpencil tapi kabarnya sudah tidak dikategorikan lagi seperti itu, padahal sarana dan prasarana masih kurang,” katanya.
Pada 2005 kondisi sekolah dasar di Riam Adungan masih minim guru.
Bahkan saat itu Kepala SDN 2 Riam Adungan meminta warga yang lulus SMA untuk jadi guru honor.
Tahun itu Norsahidah baru lulus SMA di Kintap dan ia pun terpanggil untuk mengajar di almamaternya tersebut.
Pada 2005 itu honornya disubsidi sebuah perusahaan yang beroperasi di Riam Adungan.
Namun setelah perusahaan pindah lokasi, tidak ada lagi subsidi.
Kemudian guru honor mendapat dana dari BOS (Biaya Operasional Sekolah), Norsahidah menerima honor Rp 250 ribu.
Setelah 10 tahun mengabdi, pada 2015 ia pun ikut sertifikasi guru SD.
“Pada 2005-2010 di sekolah kami hanya ada empat guru. Kemudian ada tambahan satu guru PNS/ASN. Alhamdulillah sekarang guru kelas sudah lengkap, hanya yang belum ada itu guru olahraga,” jelasnya.
Norsahidah juga meningkatkan pendidikannya dengan berkuliah di STAI Al Jami Banjarmasin.
Ia memilih sistem kuliah ekstensi, jadi ia kuliah hanya setiap akhir pekan, Sabtu dan Minggu.
Norsahidah yang merupakan guru mata pelajaran Pendidikan Agama Islam dan Pendidikan Alquran ini setiap hari memegang dua kelas.
Di masa pandemi corona ini yang menerapkan sistem belajar-mengajar daring, sebagai guru ia juga tidak bisa maksimal melakukan pembelajaran sistem tersebut.
“Wajar saja, karena belajar daring perlu ponsel. Sementara dari 65 murid di sini yang orangtunya punya ponsel hanya 35 orang atau 50 persen. Makanya kami harus bikinkan tugas secara manual dan mereka ambil, kemudian dikumpul lagi sesuai waktu ditentukan,” jelasnya, seraya mengatakan untuk ketersediaan sinyal selular juga baru beberapa tahun saja ada.
Ibu dari dua anak, Nur Wirda Atila dan Fatimah Nazihah ini menyadari bahwa statusnya sebagai guru honor belum pasti bisa ikut tes CPNS.
Apalagi usianya sekarang 34 tahun, hampir habis syarat CPNS umum yang batas usianya 35 tahun.
Sementara untuk honorer kategori 2 ia tak masuk.
“Pastilah ada keinginan untuk jadi PNS. Tapi misal tidak bisa lagi, ya saya tetap mengajar di sini,” ungkap Norsahidah yang selama ini tinggal di lingkungan sekolah.
Ya, sebagai warga setempat, Norsahidah punya kepedulian untuk mengantarkan anak-anak di desanya untuk mendapat pendidikan yang layak bahkan kalau bisa semuanya terus melanjutkan ke jenjang lebih tinggi.
(edisi cetak)