Berita Nasional

DPR Langsung Libur Sebulan, Sahkan RUU Cipta Kerja Menjadi Undang Undang

DPR langsung meliburkan persidangan selama sebulan usai mengesahkan Omnibus Law RUU Cipta Kerja menjadi undang undang, Senin (5/10/2020)

Editor: Syaiful Akhyar
bpost cetak
BPost Cetak edisi Selasa (06/10/2020) 

Editor: Syaiful Akhyar

BANJARMASINPOST.CO.ID, JAKARTA - DPR langsung meliburkan persidangan selama sebulan usai mengesahkan Omnibus Law Rancangan Undang Undang Cipta Kerja menjadi undang undang, Senin (5/10). Persidangan rencananya dibuka kembali pada 8 November 2020.

Ketua DPR Puan Maharani mengumumkan masa reses dalam pidatonya di akhir rapat paripurna.

“Tibalah saatnya, anggota DPR RI untuk melaksanakan reses, yaitu masa di mana DPR melakukan kegiatan di luar masa sidang, terutama di luar gedung DPR untuk melaksanakan kunjungan kerja di daerah pemilihannya,” kata putri Ketua Umum PDIP Perjuangan Megawati Soekarnoputri tersebut.

Dengan tidak adanya anggota dewan di Senayan, buruh pun tak bisa secara langsung menyampaikan aspirasinya mengenai UU Cipta Kerja.

Menunggu Antrean Bikin SIM di Polres Banjarbaru Bisa Sambil Bermain Game

Amuk Api Gilir Kantor Gapensi dan Rumah Warga di Batu Tunau Kotabaru, BPBD Kirimkan Bantuan Korban

Pjs Wali Kota Banjarbaru Beri Penghargaan Kadinsos Banjarbaru, Purnatugas Mengabdi 34 Tahun 6 bulan

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) rencananya menggelar aksi selama tiga hari mulai Selasa (6/10) untuk menolak UU tersebut.

Pembahasannya bahkan dinilai sejumlah kalangan menghindari pantauan buruh. Ini terlihat dari pembahasan yang dilakukan pemerintah dan DPR pada hari libur, tepatnya Sabtu (3/10) malam.

Dalam rapat tersebut skema pemberian pesangon pemutusan hubungan kerja (PHK) diubah pemerintah dan DPR.

Awalnya direncanakan pesangon PHK sebanyak 32 kali upah dengan rincian 23 kali upah ditanggung pemberi kerja dan 9 kali upah ditanggung pemerintah melalui program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Hal itu tercantum pula dalam UU Ketenagakerjaan Nomor 13/2003.

Namun, pemerintah yang diwakili Staf Ahli Kemenko Perekonomian Elen Setiadi mengusulkan penghitungan pesangon PHK diubah menjadi 19 kali upah ditanggung pemberi kerja ditambah 6 kali upah dari JKP sehingga totalnya menjadi 25 kali upah.

Selain itu sistem kerja kontrak tak ada batasan sehingga menyebabkan pekerja kehilangan kepastian statusnya.

Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas dalam pemaparannya di rapat paripurna mengatakan RUU Cipta Kerja dibahas dalam 64 kali rapat sejak 20 April 2020.

“Bahkan masa reses tetap melakukan rapat baik di dalam maupun luar gedung atas persetujuan pimpinan DPR,” tutur dia.

Sedangkan pemerintah yang diwakili Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan UU Cipta Kerja diperlukan untuk meningkatkan efektivitas birokrasi dan memperbanyak lapangan kerja.

Menurut dia, UU Cipta Kerja akan memberikan manfaat bagi masyarakat dan pemerintah.

“Kita memerlukan penyederhanaan, sinkronisasi, dan pemangkasan regulasi. Untuk itu, diperlukan UU Cipta Kerja yang merevisi beberapa undang-undang yang menghambat pencapaian tujuan dan penciptaan lapangan kerja. UU tersebut sekaligus sebagai instrumen dan penyederhanaan serta peningkatan efektivitas birokrasi,” ujar Airlangga.

Sejumlah regulasi kontroversial, baik revisi maupun RUU, muncul pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Revisi UU dan RUU yang dibahas pemerintah bersama DPR itu pun menuai banyak kritik dan protes dari publik.

Namun, hal itu tak menghentikan pemerintah dan DPR dalam pembahasannya. Bahkan, beberapa di antaranya sudah sampai disahkan menjadi UU.

Sebelum UU Cipta kerja, ada revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). UU ini mendapatkan penolakan dari banyak pihak.

Demo terjadi di sejumlah daerah terjadi UU tersebut dianggap melemahkan KPK. Namun, UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan UU KPK tetap disahkan pemerintah bersama DPR pada 17 September 2019.

Tak ada satu pun partai di legislatif yang menolak pengesahan revisi UU KPK ini.

Sejumlah poin dalam revisi UU KPK tersebut dinilai kontraversi. Di antaranya kedudukan KPK berada pada cabang eksekutif. Padahal status KPK sebelumnya merupakan lembaga ad hoc independen.

Selain itu regulasi terkait pertambangan mineral dan batubara (Minerba). RUU Minerba disahkan menjadi UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba pada 13 Mei 2020. Partai Demokrat menjadi satu-satunya fraksi yang menolak UU Minerba itu.

Ada sejumlah poin di UU Minerba tersebut yang dinilai hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu.

Salah satu yang menjadi sorotan adalah Pasal 169A terkait perpanjangan Kontrak Karya (KK) atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) tanpa pelelangan.

Melalui pasal tersebut, pemegang KK dan PKP2B yang belum memperoleh perpanjangan dapat mendapatkan 2 kali perpanjangan dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), masing-masing paling lama selama 10 tahun.

Penghapusan Pasal 165 soal sanksi bagi pihak yang mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP), IUPK, dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) juga dinilai bertentangan dengan UU Minerba.

(banjarmasinpost.co.id/kompas/tribun network/mam/sen/van/wly)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved