Berita Banjarbaru
Walhi Kritisi Klaster Minerba di UU Omnibuslaw, Diduga Pesanan Pemodal Minerba
pemberian Royalti 0% dalam UU Cipta Kerja diduga kuat merupakan pesanan dari oligarki, pengusaha tambang, terutama di sektor tambang batubara.
Penulis: Nurholis Huda | Editor: Hari Widodo
Editor : Hari Widodo
BANJARMASINPOST.CO.ID, BANJARBARU - Walhi juga mengkritisi lahirnya UU Cipta Kerja atau Omnibus Law yang baru saja disahkan DPR RI.
Dalam rilis Walhi pusat, pemberian Royalti 0% dalam UU Cipta Kerja diduga kuat merupakan pesanan dari oligarki, pengusaha tambang, terutama di sektor tambang batubara.
“Ini Negara Kesatuan Republik Indonesia atau Negara Kesatuan Republik Investor? Material atau sumber daya alam ini ada di daerah, dengan adanya izin tambang seumur tambang, dan royalti 0%, maka daerah hanya akan mendapat lubang tambang dan bencana saja. Ini sama saja negara kita dikangkangi investor,” tutur juru bicara #BersihkanIndonesia dari WALHI Kalimantan Selatan, Kisworo DwiCahyono.
Setelah pemerintah dan DPR RI memberi karpet merah pada para pengusaha tambang melalui revisi Undang-Undang Minerba, kini dalam UU Cipta Kerja, pemerintah mengobral kekayaan alam Indonesia secara cuma-cuma melalui kelonggaran royalti hingga 0%.
• Organisasi Kemahasiswaan Kalsel Khawatir Aturan Bank Tanah UU Cipta Kerja Pertajam Konflik Agraria
• DAFTAR Anggota DPR, Kepala Daera Hingga Tokoh Masyarakat yang Tolak UU Cipta Kerja
• VIDEO DPRD Kalsel Temui Moeldoko Sampaikan Tuntutan Pengujuk Rasa UU Cipta Kerja
Saat negara menghadapi resesi ekonomi, rakyat kehilangan pekerjaan dan meregang nyawa karena pandemi yang tak kunjung usai, Presiden Jokowi dan DPR RI justru memilih memberi talangan (bailout) dengan menyelamatkan pebisnis tambang batubara.
Bailout itu difasilitasi dalam UU Cipta Kerja di paragraf 5 klaster energi dan sumber daya mineral Pasal 128A, yang menyebutkan kelonggaran pembayaran royalti kepada pemerintah.
“Pemberian royalti 0% sama dengan memberikan batubara secara cuma-cuma kepada pengusaha batubara, mengkhianati amanat UUD ’45 bahwa sumber daya alam digunakan dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” ujar Iqbal Damanik, juru bicara #BersihkanIndonesia dari Auriga Nusantara.
Ia menambahkan, insentif ini akan mendorong laju eksploitasi besar-besaran yang beriringan dengan semakin hancurnya ruang hidup dan lingkungan yang tidak layak huni.
Situasi ini bertentangan dengan niat pemerintah Indonesia yang membatasi produksi batubara yang dituangkan dalam RPJMN.
Sejak tahun lalu sebelum pandemi, sejumlah perusahaan batubara besar sudah mengalami kesulitan keuangan, dengan utang jatuh tempo pada 2020, 2021, dan 2022.
Moody’s Investor Services mencatat total utang perusahaan-perusahaan tersebut mencapai USD 2,9 miliar atau sekitar Rp 42 triliun yang akan jatuh tempo pada 2022 saja.
Utang tersebut berbentuk kredit perbankan maupun obligasi. Sementara melalui UU Cipta Kerja dan dengan menunggangi pandemi, kewajiban perusahaan untuk menyetorkan royalti kepada pemerintah akan diberikan diskon hingga 100%.
Artinya, relaksasi royalti ini akan menyebabkan negara kehilangan potensi pemasukan hingga USD 1.1 miliar dan USD 1.2 miliar dari pajak yang ditarik pada 2019 dari 11 perusahaan batubara.
“Semua ini terjadi karena legislasi UU Cipta Kerja ini sudah tersandera dalam konflik kepentingan, para aktor oligarki politik dan bisnis dalam parlemen sudah bercampur-baur. Sebanyak 50 persen isi anggota DPR dan pimpinannya juga terhubung dengan bisnis batubara, bahkan Satgas Omnibus Law yang ikut menyusun
pun berisi para komisaris dan direktur perusahaan batubara yang juga akan menerima manfaat dari kebijakan UU Cipta Kerja ini sendiri,” ungkap Merah Johansyah, juru bicara #BersihkanIndonesia dari JATAM Nasional.
• Gerah dengan UU Cipta Kerja, Cipayung Plus se-Kalsel Undang Anggota DPR dan DPD RI Dapil Kalsel
Diskon royalti hingga 100% ini akan menguntungkan perusahaan tambang, sebaliknya hal ini sama saja menggratiskan batubara demi menyelamatkan pengusaha, sementara bagi penerimaan negara dan daerah yang selama ini bergantung pada batubara akan turun drastis.
Di saat yang sama, eksploitasinya justru terjadi di daerah, aturan ini juga akan memicu perluasan kerusakan, pencemaran lingkungan seperti lubang tambang dan pengusiran masyarakat dari tanahnya sendiri, biaya pemulihan lenyap dan dana tidak ada karena perusahaan tambang yang diberi diskon royalti, negara dan
lingkungan buntung. (Banjarmasinpost.co.id/nurholis huda)