Berita Banjarbaru

Prilaku Anak Korban Kekerasan Seksual Cenderung Berubah, ini Kata Psikiater RSUD Ratu Zalecha

Psikiater RS Ratu Zalecha Martapura, Dr. Winda Oktari Anryanie Arief, SpKJ menjelaskan, perilaku asusila merupakan suatu tindakan yang di luar norma

Penulis: Siti Bulkis | Editor: Eka Dinayanti
banjarmasinpost.co.id/siti bulkis
Psikiater Rs Ratu Zalecha Martapura, Dr. Winda Oktari Anryanie Arief, SpKJ 

BANJARMASINPOST.CO.ID, BANJARBARU - Kekerasan, Pelecehan Seksual, Pemerkosaan, Pencabulan hingga tindak asusila adalah hal yang tidak asing di dengar masyarakat, terutama di Banjarbaru, Kabupaten Banjar dan sekitarnya.

Untuk itu, ada baiknya dipahami terlebih dahulu serta diperjelas apa maksud dan perbedaan dari semuanya.

Psikiater RS Ratu Zalecha Martapura, Dr. Winda Oktari Anryanie Arief, SpKJ menjelaskan, perilaku asusila merupakan suatu tindakan yang di luar norma kesusilaan.

Di dalamnya tindak kekerasan seksual, pelecehan, pemerkosaan hingga pencabulan.

"Kekerasan seksual sendiri sifatnya luas bisa berupa dari perkataan, sentuhan fisik, mencium, meraba yang dapat menimbulkan rasa ketidak nyamanan terhadap korban,," jelas Winda, Minggu (23/01/2022).

Berbeda dengan pemerkosaan, lanjutnya. Pemerkosaan terdapat suatu pemaksaan dari pelaku terhadap korban dengan adanya harapan penetrasi tanpa menghiraukan penolakan yang dilakukan korban.

Lalu, adapula pelecehan seksual, ini dapat berupa sentuhan dan bisa juga dengan perkataan yang membuat korban tidak senang.

Sementara pencabulan merupakan prilaku seksual dilakukan terhadap korban yang masih berusia di bawah 17 tahun atau di bawah umur.

"Dan pembagian ini ada tertuang dalam undang-undang," ujarnya.

Namun, satu diantaranya yang menyita banyak perhatian adalah tindak asusila terhadap anak di bawah umur.

Tindak asusila terhadap anak di bawah umur tentunya sedikit banyak dapat menimbulkan rasa traumatik terhadap korban.

Secara umum, untuk dapat mengetahui anak memiliki sesuatu yang disembunyikan, terutama terkait prilaku seksual yang membuat trauma dapat dilihat dari perubahan prilaku anak, diantaranya anak berubah menjadi pendiam.

Kemudian bila ada perilaku yang sudah kontak fisik, bisanya anak mengeluhkan sakit saat buang air kecil.

Dan bila pelakunya adalah orang dekat biasanya anak cenderung berubah sikap dari yang sebelumnya biasa saja menjadi takut seolah-olah sedang terancam.

"Selebihnya ada yang mengalami mimpi buruk hingga menarik diri. Dari semua pertanda perubahan tersebut tidak semuanya sama dialami anak. Intinya tergantung pada si anak. Anak yang dilatih terampil berbicara tentu akan lebih mudah menyampaikan apa yang dialaminya dan sebaliknya," ujarnya.

Di sinilah peran serta orangtua serta keluarga harus benar-benar hadir dan menunjukkan bahwa ia memiliki support system yang bisa dipercaya dan memberikan rasa aman.

Jangan sampai, tegasnya, malah orangtua menghakimi bahkan sampai menyudutkan anak.

Lebih lanjut, Winda mengatakan, orangtua hendaknya jangan pula malu terlebih gengsi untuk membawa anaknya ke psikiater maupun psikolog hanya dikarenakan takut dengan stigma yang dilabelkan oleh masyarakat.

Hal tersebut pun berlaku terhadap guru di sekolah.

Guru yang mengetahui peserta didiknya mengalami hal tersebut diharapkan dapat memberikan dan menghadirkan rasa aman pula saat berada di lingkungan sekolah.

Bila memang memungkinkan, guru bisa memberikan arahan agar teman-teman si anak mengajak bermain bersama apabila anak menunjukan pertanda menarik diri.

Untuk penanganan yang diberikan terhadap korban yang masih dibawah umur dengan orang dewasa secara umum sama, yaitu Psikoterapi Supoortif .

Hanya saja, ujarnya, yang membedakan adalah penatalaksanaan antara korban anak dan dewasa adalah derajat trauma, pemahaman korban terhadap kejadian yang dialami, nilai moral korban terhadap kejadian yang dialami, serta support system yang dimiliki oleh korban.

Dan untuk kecepatan pulihnya korban asusila tidak dapat ditentukan, sebab hal ini tergantung tingkat keparahannya, penerimaan diri korbannya hingga support systemnya.

Sementara ditanya terkait faktor yang dapat membuat seseorang melakukan tindak asusila.

Winda menjelaskan, kemungkinan dikarenakan sulitnya menekan keinginan melakukan tindakan tersebut.

Bisa pula dikarenakan tiga faktor, yaitu biologis, psikologis dan sosial.

"Terbiasa menerima stimulus yang sifatnya seksual, misal sering menonton video porno yang dapat memunculkan dorongan seksual yang tinggi. Namun, tidak memiliki penyaluran yang tepat, sehingga pelaku menyalurkannya ke tindakan yang tidak tepat," ujarnya.

Orang yang memiliki kelainan seperti ketertarikan terhadap anak yang jauh berada di bawahnya bukan dengan sesama orang dewasa atau dalam sebutan lain pedofil, menurutnya, bisa disembuhkan dengan pemberian obat serta psikoterapi dengan berbagai macam teknik-tekniknya.

(Banjarmasinpost.co.id/Siti Bulkis)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved