Opini Publik

RUU Kesehatan Ancam Keselamatan Masyarakat

RUU Kesehatan membuat tenaga kesehatan menjadi takut untuk memberi pelayanan karena sanksi pidana dalam RUU Kesehatan pasal 462 ayat 1 dan 2

Editor: Hari Widodo
banjarmasinpost.co.id/stan/Dok
Direktur RSUD Datu Sanggul, Rantau, dr. Milhan 

Beban yang sudah ada akan ditambah dengan beban pendidikan yang sangat penting dan berat, karena harus membuat kurikulum, pelaksanaan pendidikan, pengawasan pendidikan serta ujian dan lain-lain yang memerlukan keahlian khusus.

Sistem yang selama ini sudah dengan baik, kolaborasi antar fakultas kedokteran, rumah sakit pendidikan dan kolegium dan hasilnya bisa kita nikmati dan rasakan sejak negeri ini berdiri, dan secara sepihak akan diganti dengan hospital based.

Kami menangkap ketergesa-gesaan Kemenkes tanpa memperhatikan kekhususan pendidikan kedokteran, yang memang memerlukan perundangan khusus, tapi kemenkes melakukan simplifikasi.

Permasalahan kesehatan di Indonesia akan terpusat ke Kementerian Kesehatan jika RUU Kesehatan disahkan tanpa revisi, termasuk masalah pendidikan dokter, rekomendasi penempatan dokter di daerah.

Proses pengesahan hendaknya beretika dan bertanggungjawab dengan melibatkan berbagai organisasi profesi, seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Ikatan Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), dan lain-lain.

Undang-undang akan berlaku untuk orang banyak dan memakan waktu cukup lama karena perlu penyempurnaan yang baik dalam penyusunannya dengan mengikutsertkan masyarakat dan organisasi profesi dan stake holder lainnya.

Surat Tanda Registrasi (STR) -dalam RUU Kesehatan ini- diusulkan agar berlaku seumur hidup Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Slamet Budiarto berpendapat sesuaikan dengan aturan awal yakni berlaku lima tahun karena berkaitan dengan data nasional.

Dengan STR yang merupakan pencatatan data se Indonesia, kalau berlaku seumur hidup kelemahannya adalah kalau ada dokter yang meninggal atau tidak praktik lagi.

Belum lagi deteksi dokter baru. Secara statistik akan kurang pas. Yang perlu dilakukan pemerintah saat ini adalah persyaratan untuk STR sebaiknya mudah dan cepat.

Dalam RUU Kesehatan penentuan kompetensi untuk memperoleh SIP harus melalui Kementerian Kesehatan. Hal ini akan sangat aneh karena rata-rata pegawai Kemenkes tidak membuka praktik kedokteran sehingga seharusnya kompetensi ini tetap ada di ranah profesi.

Hal lain yang harus dibahas dalam penyusunan RUU Kesehatan, yakni memperhatikan permasalahan mendasar dalam sistem kesehatan Indonesia, yakni mengenai sistem pembiayaan, pelayanan, dan pendidikan kesehatan.

Diperlukannya dokter-dokter yang mau mengabdi di daerah terpencil, dan perlu perlindungan secara fisik maupun secara hukum.

Tanpa adanya perlindungan bagi mereka, dikhawatirkan para tenaga kesehatan akan lebih condong untuk menerapkan praktik kesehatan berbiaya tinggi sebagai bagian dari upaya perlindungan diri sendiri terhadap hukum.

Hal lain yang belum tercakup pada RUU Kesehatan adalah upaya untuk tidak terjadi kecenderungan kriminalisasi terhadap tenaga medis dan tenaga kesehatan yaitu kecenderungan untuk dengan mudah setiap dugaan pelanggaran praktik dimasukkan ke ranah pidana.

Perlu disusun ketentuan peraturan perundang-undangan yang jelas dan definitif untuk memilah pelanggaran pidana, pelanggaran perdata, dan pelanggaran administrasi pada pelayanan kesehatan.

Jadi memang perlu dilakukan revisi RUU Kesehatan dengan melibatkan insan kesehatan, organisasi profesi kesehatan, dan lain-lain sebelum dijadikan UndangUndang Kesehatan.(*)

 

 

Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Pahlawan Prisma

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved