Lifestyle

Film Berburu Paus Lamalera NTT Tayang di Tokyo, Sang Sutradara Tiga Tahun Tunggu Paus

Film dokumenter “Kujirabito” yang berkisah tentang tradisi masyarakat Desa Lamalera, dalam berburu ikan paus, tengah diputar di Tokyo

Editor: Hari Widodo
Dok BPost Cetak
Film dokumenter “Kujirabito” yang berkisah tentang tradisi masyarakat Desa Lamalera, dalam berburu ikan paus, tengah diputar di Tokyo. 

BANJARMASINPOST.CO.ID - Film dokumenter “Kujirabito” yang berkisah tentang tradisi masyarakat Desa Lamalera, Nusa Tenggara Timur, dalam berburu ikan paus, tengah diputar di Tokyo.

Sutradara “Kujirabito” Bon Ishikawa yang tengah mengawal pemutaran filmnya, Senin (28/8), mengaku ingin menyampaikan budaya bagus kepada khalayak ramai di tengah maraknya globalisasi.

“Ada budaya yang bagus yang bisa disampaikan, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di Jepang. Jadi ada kemiripan pada Zaman Edo, masyarakat di Jepang juga berburu paus, sama seperti di Indonesia masih dengan cara tradisional,” kata sutradara Jepang tersebut.

Film “Kujirabito”, dalam makna harafiah “manusia ikan paus”, merekam hubungan antara manusia Lamalera dan paus.

Paus dinilai sebagai berkah yang diberikan Tuhan kepada masyarakat Lamalera untuk menjalankan kehidupan. Makanya masyarakat Lamalera selalu melibatkan Tuhan sebelum dan setelah berburu paus serta dalam kehidupan sehari-hari.

Ishikawa membutuhkan waktu hingga tiga tahun untuk membuat film dokumenter yang sebelumnya diawali dengan riset sejak 1991 saat dia mengambil sejumlah foto terkait tradisi itu.

Selain komunikasi dengan masyarakat lokal yang masih berbahasa daerah, yakni Bahasa Lamaholot, kesulitan terbesar yang dialami Ishikawa adalah menunggu paus muncul.

“Selama tiga tahun tidak muncul-muncul, Saat saya akan pulang ke Jepang, baru muncul. Mungkin ingin menunjukkan ‘ini saya’,” kata sutradara yang mengantongi nominasi penghargaan dokumenter dari Japan Movie Critics Award 2022 itu.

Film “Kujirabito” juga menyampaikan paus sebagai anugerah yang sudah diciptakan Tuhan untuk menghidupi sekitar 1.500 jiwa di Desa Lamalera.

“Jadi, apa boleh buat. Tidak ada makanan lain yang bisa menghidupi seluruh penduduk itu. Tuhan sudah menciptakan, manusia harus bisa mengatur,” katanya, seraya menyampaikan agar manusia bisa hidup bersama alam dan menjaga tidak hingga sampai punah.

Sementara itu, salah satu penonton, Satoe, menilai budaya tersebut patut dilestarikan.

“Kita belum tahu apakah kehidupan mereka itu dapat dilestarikan, mereka yang akan memilih mau ke mana. Kita tidak bisa memaksa mereka berhenti berburu paus atau nanti mereka pergi ke kota, siapa yang bisa larang,” kata dia.

Dalam konteks sadisme, menurut dia, antara paus dan manusia memiliki kedudukan yang sama, yakni sama-sama bertaruh nyawa. Manusia bertaruh nyawa untuk melanjutkan kehidupan, begitu pula dengan paus.

“Ini sungguh berbeda dengan praktik-praktik yang dilakukan negara-negara Barat yang contohnya mengeksploitasi minyak. Paus ini tidak disia-siakan untuk kesenangan, tetapi untuk kehidupan,” kata dia. (antara/juwita trisna rahayu)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved