Berita HSS

Sarjana dari HSS Mantap Jadi Petani Milenial, Terapkan Pengalaman Magang Setahun di Jepang

Lulus sebagai sarjana S1 STIKIP Banjarmasin pada 2023, Rasid bangga menjadi petani. Berbekal magang 1 tahun di Jepang ia menggeluti pilihannya itu

Penulis: Hanani | Editor: Hari Widodo
istimewa
Abdurrasid (berjaket putih ungu), warga Desa Bariang, Kecamatan Kandangan, saat magang di kawasan pertanian di Jepang, pada 2017. 

BANJARMASINPOST.CO.ID - Pekerjaan sebagai petani kadang masih dipandang “sebelah mata”. Buktinya tak banyak kalangan milenial yang mau menggelutinya.

Selain dianggap tak keren, identik bergelut dengan kotor. Namun tidak demikian dengan Abdurrasid (33). Warga Desa Bariang, Kecamatan Kandangan, Hulu Sungai Selatan (HSS) ini, justru merasakan keberkahan menjadi petani.

Lulus sebagai sarjana S1 STIKIP Banjarmasin pada 2023, Rasid bangga menjadi petani. Diapun bersyukur, orangtuanya mendukung pilihannya itu. Ayah dan ibunya pun tak malu pada tetangga.

Sebelum memutuskan menjadi petani milineal, Rasid sempat melamar pekerjaan. Mulai CPNS hingga perusahaan swasta dan perangkat desa.

Baca juga: Wujudkan Petani Milenial,  Bappedalitbang Tanbu Salurkan Bantuan Hibah Kompetitif Program YESS

Baca juga: Sekda Sebut Kopi Meratus Bagian Action Save Meratus dan Lahirkan Petani Milenial

Sadar tinggal di daerah yang punya potensi pertanian dan sarjana tak harus bekerja kantoran, diapun akhirnya membantu ayahnya bertani padi. Apalagi, sejak kuliah, Rasid sering terjun ke sawah membantu ayahnya. Dari situ Rasid mengakui timbul kesadaran, petani butuh regenerasi.

“Akhirnya hati saya terusik, karena tak banyak anak muda mau bertani. Selama ini yang turun ke sawah cuma petani kolonial. Mereka rata-rata berusia lanjut. Sejak saat itu saya ingin serius menjadi petani sukses,” katanya saat ditermui Banjarmasin Post di rumahnya, Selasa (10/10).

Kesempatan untuk belajar menjadi petani terdidik pun dia dapatkan. Pada 2016, saat berusia 26 tahun, Rasid mengikuti Pelatihan Manajemen dan Kepemimpinan Pertanian. Program Kementerian Pertanian itu berlangsung di Ciawi, Bogor.

Selama satu bulan, dia dan peserta lainnya dididik dan dilatih untuk Pemantapan Magang ke Jepang Angkatan ke-33. Selama satu bulan itu Rasid dan peserta lainnya juga dilatih bahasa Jepang dan diberi wawasan budayanya.

Mereka diberangkatkan ke Negeri Sakura untuk magang selama satu tahun. Di Jepang Rasid tinggal di rumah seorang petani di Yokohama, Desa Karsukakecho. Oleh karena belum terlalu mahir berbahasa Jepang, Rasid senantiasa membawa kamus dan handphone khusus untuk translater.

Selama magang, dia terlibat kegiatan pertanian hortikultura ayah angkatnya yaitu bertanam melon, tomat, cherri serta ubi sejenis ubi madu atau ubi cilembu. “Saya dilibatkan mulai tanam, panen hingga memasarkan hasil panennya,” kata Rasid. Dia pun berbaur dengan masyarakat petani di tempat tinggalnya.

Sistem pertanian di Jepang sudah sangat didukung teknologi, peralatan dan infrastruktur oleh pemerintah setempat. Para petani hortikultura tanam di green house, semacam rumah kaca, sehingga tak mengenal musim. Termasuk pertanian padi, yang menggunakan teknologi semiorganik.

Selesai magang pada 2017, Rasid kembali ke kampung halaman. Memiliki sawah seluas satu hektare, dia memilih bertani padi. Oleh karena lahan tadah hujan, maka sekali tanam. Adapun padi yang ditanam yakni jenis unggul seperti mikongga, diherang dan Inpari 9 yang secara rasa seperti siam unus.

“Setelah selesai panen padi, lahan saya manfaatkan untuk tanaman hortikultura seperti cabai tiung tanjung,” katanya.

Di kelompok Tani Mandiri tempatnya bergabung hanya ada empat anak muda. Selebihnya, lansia.

Rasid mengaku turun sendiri menggarap sawah. Mulai pembersihan lahan, tanam dan panen. Namun, ada beberapa orang dia pekerjakan untuk membantu.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved