Kolom

Kritik Berujung Kriminalisasi

Seorang siswi SMP di Jambi dilaporkanke polisi karena kritik terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan pencalonan Gibran Rakabuming Raka

Editor: Irfani Rahman
Foto Ist
Joko Riyanto, Koordinator Riset Pusat Kajian dan Penelitian Kebangsaan (Puskalitba) Solo 

Oleh: Joko Riyanto
Koordinator Riset Pusat Kajian dan Penelitian Kebangsaan (Puskalitba) Solo

BANJARMASINPOST.CO.ID - Syarifah Fadiyah Alkaff, seorang siswi sekolah menengah pertama (SMP) di Jambi, mendapati dirinya dilaporkan ke polisi akibat kritik yang dilontarkannya terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan pencalonan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon wakil presiden Prabowo Subianto.

Pernyataan Syarifah Fadiyah menjadi viral setelah diunggah oleh akun Twitter X @kegblgnunfaedh. Dalam video tersebut, Fadiyah menyampaikan kritiknya terhadap Jokowi, menuding presiden telah merusak tatanan hukum.

Fadiyah mengklaim bahwa rusaknya tatanan hukum di Indonesia ini bukan hanya pendapat pribadinya, tetapi juga disampaikan oleh Ganjar Pranowo, rekan separtai Jokowi di PDIP. Ganjar memberi skor rendah, yaitu 5, untuk penegakan hukum di Indonesia.

Syarifah Fadiyah menambah daftar penjang masyarakat sipil yang mengkritik penguasa (presiden) berujung kriminalisasi. Pegiat demokrasi Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar yang melakukan pengawasan terhadap pejabat pemerintah diprepresi dengan kriminalisasi, tapi akhirnya divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada Senin (8/1/2024).

Pun media dan wartawan mengalami kekerasan ketika meliput praktik lancung kekuasaan. Aktivis seni pun tak luput dari intimidasi karena bersikap kritis terhadap pemerintah. Mahasiswa yang kerap bersuara kritis kepada pemerintah juga mendapat perlakuan represif dari aparat keamanan. epanjang Desember 2022-November 2023,

KontraS mencatat bahwa terjadi sebanyak 127 pelanggaran terhadap praktik kebebasan sipil di Indonesia. Adapun jumlah korban yang tercatat dari berbagai bentuk pelanggaran itu ialah sebanyak 73 orang, 72 di antaranya luka-luka dan 1 orang tewas dan 622 ditangkap secara sewenang-wenang.

Sebenarnya apa yang disampaikan oleh siswi SMP di Jambi, para pegiat demokrasi, seniman, dan mahasiswa kepada pemerintah (penguasa) adalah sebuah kritik dalam bingkai demokrasi, bukan sebagai fitnah atau menghina. Kritik yang berujung intimidasi, represif, dan kriminalisasi justru membungkam demokrasi.

Indonesia adalah negara demokratis dimana kebebasan berpendapat dan berekspresi setiap warga negara dijamin dan dilindungi konstitusi. UUD 1945 Pasal 28 E ayat (3) secara tegas menyatakan: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat’, Pasal 28 I ayat (1): “….., Hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani,….adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”.

Kemudian, Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum menyebutkan: “Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Kritik yang berujung kriminalisasi memperlihatkan kekuasaan yang otoriter. Bisa jadi, orang yang mengkritisi kinerja presiden dan pejabat pemerintahan dapat dituding sebagai penebar fitnah dan berujung kriminalisasi. Sangat tidak pantas setiap kritik dihadapi dan berujung pada tindakan hukum. Kritik, karya seni, dan hasil riset para aktivis merupakan bentuk kebebasan berpendapat dan bentuk kerja-kerja pembela Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilindungi dan dijamin oleh negara.

Hal itu dijamin dalam Pasal 28E ayat (2) dan Pasal 28F UUD 1945, TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM, Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Pasal 19 ayat (1) dan (2) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang sudah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 2005, dan Pasal 23 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.

Sungguh ironis ketika pemerintah minta untuk dikritik dan menganggap dirinya sebagai “seorang demokrat sejati”, ternyata alergi kritik atau “berkuping tipis”. Padahal, dalam bingkai negara demokrasi, kritik sepedas apapun merupakan hal yang wajar dilakukan oleh siapa pun.

Setiap pejabat negara hendaknya dapat menerima kritik dalam bentuk apapun karena hal itu sebagai bentuk konsekuensi dari jabatannya.

Presiden dan pejabat pemerintahan seharusnya melindungi warga negaranya dalam berekspresi dan berpendapat, bukan menghujani warga negaranya yang kritis dengan represif dan tindakan hukum. Substansi pihak yang mengkritisi tidak harus disikapi dengan melakukan kriminaliasai.

Apabila Presiden merasa pernyataan siswa SMP di atas tidak benar, cukup melakukan klarifikasi dan teguran saja, tidak perlu menggunakan mekanisme hukum. Kriminalisasi terhadap pengkritik yang dilakukan secara serampangan justru akan melahirkan gerakan dan antipati terhadap penguasa.

Kriminalisasi terhadap pengkritik merupakan bentuk abuse of power dan penyakit-penyakit kekuasaan. Kritik yang dibalas dengan kriminalisasi justru makin membuat masalah baru bagi rezim penguasa. Kita pun mendorong pihak yang dikriminalisasi melawan jika kriminalisasi itu terkait dengan kebijakan dan kinerja penguasa.

Adalah bijak jika Presiden secara jujur dan berani melakukan klarifikasi tudingan dan kritik oleh siswi SMP. Hal ini lebih baik daripada membawa persoalan ke ranah hukum.

Di saat lembaga legislatif dan yudikatif dengan mudah dikooptasi oleh kepentingan penguasa, maka harapan untuk melakukan pengawasan terhadap pemerintah adalah masyarakat sipil. Seharusnyam rakyat Indonesia yang paling pantas melayangkan tindakan “kriminalisasi” kepada penguasa negara.

Sebab, kinerja mereka untuk membuat rakyat Indonesia makmur-sejahtera, memulihkan ekonomi rakyat dan bangsa, membangun demokrasi yang lebih bermartabat, serta membumikan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia belum dipenuhi. Penguasa negara telah “lalai” atau “abai” mengurusi kepentingan rakyat. Presiden Jokowi pun menutup mata serangkaian ancaman dan tindakan kriminalisasi terhadap hak mendasar rakyat.

Preisden Jokowi justru sibuk “meladeni” lawan-lawan politiknya serta pidato yang tak bermakna.

Hemat saya, kritik masyarakat sipil dan sejumlah aktivis terhadap rezim penguasa seharusnya direspon positif. Anggap kririk tersebut sebagai “jamu” meski rasanya pahit namun akan mendatangkan kebaikan bagi keduanya.

Dan, jika dianggap perlu, berbagai kritik yang datang dikelola dengan komunakasi politik-demokratif sehingga bisa menjadi pegangan penguasa negara untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan. Rakyat masih mendambakan munculnya sesuatu yang fenomenal yang akan dikenang dari Presiden Jokowi sebagai warisan (legacy) terbesarnya sebagai tokoh pejabat negara yang fenomenal.

Dalam menapaki sisa kekuasaan, Presiden Jokowi masih punya peluang melakukan terobosan-terobosan inovatif dan spektakuler untuk mensejahterakan rakyat. Sungguh tidak pantas jika kelak, rakyat justru lebih mengenang Presiden Jokowi, sebagai pemimpin yang gemar menghujani tindakan hukum warga negaranya.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Pahlawan Prisma

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved