Jendela

Kawin Kontrak Politik

Tiap akhir pekan, jika tak ada aral, saya dan isteri suka berolahraga ringan, berjalan kaki pagi hari. Kata pepatah, “lama berjalan, banyak yang dilih

|
Editor: Edi Nugroho
ISTIMEWA
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari, Mujiburrahman. 

Ada juga yang menekankan identitas asal-usul seperti “Keturunan Habib Basirih”, “Bubuhan kita jua” (Saudara kita juga).

Ada juga yang menggelitik, bahkan rada menantang seperti “Siapa yang pian tunggu di tahun 2024?”, “Muda Berbahaya”. Sebaliknya, ada juga yang sangat santun: “Mohon doa dan dukungannya”.

Ibarat kawin, sang politisi saat ini melakukan pendekatan kepada calon pasangannya, yakni rakyat-pemilih.

Jika kita mengacu kepada slogan-slogan itu, maka paling kurang ada dua strategi yang dilakukan
politisi.

Pertama, berjanji akan menjadi ‘suami’ atau ‘isteri’ rakyat yang bertanggung jawab sesuai hak dan kewajiban yang diembannya.

Kedua, berusaha menunjukkan bahwa kesetiaannya kepada rakyat tak perlu diragukan lagi karena sudah pernah terpilih, keturunan orang yang mulia, sosok idaman yang ditunggu-tunggu, atau anak muda yang dapat mendobrak kemapanan.

Reaksi para pemilih tentu beragam. Ada yang percaya pada politisi itu, ada yang tidak, dan ada yang ragu-ragu.

Namun, boleh jadi kebanyakan pemilih tidak atau kurang memerhatikan slogan-slogan itu. Apalagi jika pemilih seringkali dikecewakan oleh janji-janji politisi yang tidak ditepati.

Dalam hal ini, ibarat nikah, pemilih minta dibayar tunai saja saat akad berlangsung. Inilah akar dari maraknya politik uang.

Daripada kelak menagih janji, si pemilih yang pernah kecewa itu meminta dibayar sekarang saja saat pemilu. Urusan nanti setelah terpilih, terserah kepada si politisi tersebut.

Dengan demikian, sulit kiranya bagi seseorang untuk menjadi politisi tanpa modal uang yang banyak. Caleg yang miskin modal akhirnya ragu-ragu atau takut menemui masyarakat. Jika dimintai uang atau sumbangan bagaimana?

Ibarat kawin, mahar politiknya tinggi, baik untuk si pengantin ataupun biaya operasional di lapangan.

Sejalan dengan ini, Kompas (18 dan19-1-2024) melaporkan bahwa sebagian politisi menggunakan perangkat desa untuk operasi ‘serangan fajar’, dan sebagian lagi mendompleng pembagian bantuan sosial yang berasal dari anggaran pemerintah.

Lebih seru lagi, PPATK mencatat transaksi mencurigakan terkait pemilu tahun ini sebesar Rp 51,4 triliun!

Namun, gambaran suram tersebut tidak mewakili seluruh kenyataan.

Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Pahlawan Prisma

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved