Opini

Ironisme Bullying di Sekolah

MAKIN hari kasus kekerasan, khususnya perundungan atau biasa kita dengar dengan istilah bullying makin menjadi-jadi. 

Editor: Edi Nugroho
Banjarmasinpost.co.id
Rahmita Yuliana Gazali, M.Pd , Dosen Universitas PGRI Kalimantan 

Itu bisa menjadi klaim murid ketika juga bersikap keras dan suka mengancam bahkan bertindak keras seperti bullying kepada sesama teman, yang terlihat lemah dan mudah ditekan.

Selanjutnya, hal yang tak kalah penting adalah perihal guru yang “memuliakan” anak didiknya. Kata memuliakan biasanya merepresentasikan sikap hormat dari seseorang terhadap orang lain yang lebih tua. 

Dalam konteks pendidikan, misalnya, sikap hormat dari anak didiknya terhadap gurunya. Namun, kata memuliakan di sini, bermakna, representasi sikap seorang guru dalam mengajar dan mendidik, hingga menjadikan si anak didik menjadi orang yang mulia di masyarakat. 

\Salah satu cara yang bisa ditempuh guru untuk mewujudkan hubungan timbal balik dengan anak didiknya tersebut adalah dengan mencermati kode etik guru.

Dalam pembukaan kode etik guru Indonesia, disebutkan bahwa guru Indonesia adalah insan yang layak ditiru dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, khususnya oleh peserta didik, yang dalam melaksankan tugas berpegang teguh pada prinsip “ing ngarso sung tulodho, ing madya mangun karso, tut wuri handayani”. 

Dalam usaha mewujudkan prinsip-prinsip tersebut guru Indonesia ketika menjalankan tugas-tugas profesionalnya dituntut memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional  sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Guru Indonesia bertanggung jawab mengantarkan siswanya untuk mencapai kedewasaan sebagai calon pemimpin bangsa pada semua bidang kehidupan.

Pada konteks mendidik dan mengajar anak di sekolah, guru seyogyanya memerankan bak orang tua terhadap anaknya di rumah. 

Mendidik dengan ketulusan, rasa kasih sayang, rasa cinta, dan kesabaran. Itu penting, karena dengan ketulusan dan kasih sayang, maka rasa itu akan sampai pada anak didiknya, yang menurut dan mencontoh kebaikan yang sudah diteladankan guru. 

Bukan malah sebaliknya, berperangai bak preman kepada sesama teman dengan perilaku tidak terpuji seperti bullying.

Ketika terjadi peristiwa, guru mencubit atau guru menegur anak didiknya, itu semata-mata cubitan atau teguran kasih sayang.  

Tetapi, perlu dijelaskan ke anak didiknya, jangan asal cubit atau menjewer. Karena, anak sekarang cenderung menduplikasi apa yang dilakukan guru. 

Guru mencubit, menjewer, maka bisa jadi muncul keinginan, hasrat anak untuk mencubit atau menjewer temannya, dan bisa masuk kategori kekerasan sesama teman.

Memang, ada satu atau dua orang oknum guru, yang berlebihan dalam memberikan peringatan kepada anak didiknya. Tetapi, jangan lantas digeneralisasikan, untuk menjudgmet bahwa image sikap berlebihan dalam mengingatkan anak didiknya, masih ada dalam diri seorang guru. Jika ada kasus seperti guru yang mencubit, guru menegur anak didiknya, kemudian diperkarakan oleh orang tua, seharusnya tidak perlu menjadi viral, manakala baik guru, orang tua dan anak didiknya, duduk bersama.

Sinergi Kuncinya

Harapannya jelas, kita ingin mewujudkan pendidikan ramah anak sebagai bentuk menjalankan amanat undang-undang. 

Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Aneh Tapi Waras

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved