Rudy: Tidak Perlu Ada Wakil

Editor: Syamsudin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Rudy Ariffin

BANJARMASINPOST.CO.ID, JAKARTA - Gubernur Kalsel H Rudy Ariffin mendukung wacana Pemilukada tidak dilakukan secara langsung. Akan tetapi, dia lebih setuju, wacana itu hanya diterapkan untuk pemilihan bupati/wali kota. Untuk gubernur/wakil gubernur, Rudy tetap setuju dipilih secara langsung.

Pemilihan tidak langsung untuk bupati/wali kota bisa menghemat pembiayaan. Pasalnya, jumlah kabupaten/kota se-Indonesia mencapai 536 daerah.

“Kalau dilakukan itu penghematan luar biasa,” kata Rudy dalam diskusi Mendesain Format Baru Pemilukada yang diadakan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP) di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (21/3).

Gagasan menarik lain juga dilontarkan Rudy. Menurut dia, untuk daerah kecil-daerah kecil lebih baik dipimpin kepala daerah tanpa disertai wakil. Cara itu dilakukan agar roda pemerintahan berjalan lebih efektif.

“Untuk wakil kepala daerah, ada atau tidak ada itu tergantung kebutuhan. Kalau wilayahnya hanya ada dua juta penduduk, mengapa ada wakil? Tugasnya apa?” ujar dia.

Pada diskusi itu, Rudy juga mengungkapkan permasalahan yang terjadi akibat Pemilukada secara langsung.

Gubernur dua periode Kalsel ini mengatakan ada kecenderungan aparatur birokrasi daerah lebih cenderung mendukung calon incumbent (petahana).

“Meskipun tidak semua incumbent akan menang, kecenderungannya memang ada,” tegas dia.

Masalah lain, terjadinya disharmonisasi kepala daerah dengan wakilnya. Biasanya, masa harmonis terjadi hanya selama tiga bulan pascapemilihan.

“Masalah selanjutnya adalah besarnya biaya,” ucap mantan bupati Banjar itu.

Persoalan lain yang kerap terjadi, lanjut Rudy, adalah munculnya tindakan anarkistis dari pendukung calon yang tidak puas terhadap hasil penghitungan suara yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Usulan Rudy didukung Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Djohermansyah Djohan. “Jika gubernur melalui pemilihan langsung dan bupati/wali kota dipilih anggota DPRD, maka bupati/wali kota menjadi lebih menaati gubernur,” ujar dia.

Djohan mengungkapkan, saat ini banyak bupati/wali kota yang tidak patuh terhadap gubernur.

“Ketika diminta rapat dengan gubernur soal pembangunan, mereka sering mengaku tidak bisa ikut karena mengurus konstituen. Bila gubernur dipilih langsung dan bupati/wali kota oleh DPRD, gubernur akan memiliki legitimasi kuat sehingga bisa mengurangi konflik dan anggaran,” tegas Djohermansyah.

Menyinggung kekhawatiran terjadinya permainan uang jika Pemilukada menggunakan cara tidak langsung, dia mengatakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa dilibatkan. “Kalau mau main-main ada KPK, ini mengunci (politik uang),” ujarnya.

Menanggapi usulan itu, anggota DPRD Banjarmasin, M dafik As’ad menyatakan ketidaksetujuannya. Dia menilai usulan itu merupakan bentuk kemunduran demokrasi.

“Membangun demokrasi seperti sekarang ini, sudah menghabiskan biaya tidak sedikit dan waktu tidak pendek,” tegas dia.

Dikatakan Dafik, Pemilukada merupakan pesta demokrasi. Pesta bagi rakyat untuk menentukan sendiri pemimpinnya selama lima tahun ke depan.

Berbeda dengan gubernur yang lebih berfungsi sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat, wali kota/bupati langsung ‘bersentuhan’ dengan rakyat.

Proses demokrasi saat ini, sudah bagus. Jika memang diperlukan perbaikan, yang harus diperbaiki adalah sistem perangkat pelaksananya.

“Karena itu secara pribadi, saya tidak setuju usulan itu,” tegas Dafik.

Sementara Ketua DPRD Banjarbaru, Arie Sophian mengatakan, wacana untuk mengembalikan proses pemilihan kepala daerah ke mekanisme di DPRD masih pro-kontra. Pemilihan langsung atau tidak langsung, memiliki kelebihan dan kekurangan.

Di UUD 1945 hanya disebutkan pemilihan harus berjalan demokratis, tidak spesifik menunjuk mekanisme yang harus digunakan.

“Soal mekanisme, yang pasti ada pro dan kontra. Kalau parpol sih, cenderung menginginkan pemilihan langsung,” ungkap Arie.

Secara pribadi, Arie tidak sependapat usulan Rudy. Dia menilai yang seharusnya pemilihan langsung ditujukan untu8k Pemilihan Bupati/Wali Kota, bukan gubernur.

Namun, dia setuju Pemilukada hanya memilih kepala daerah. Untuk wakilnya bisa diambil dari pegawai negeri sipil (PNS). Pertimbangannya, selama ini kerap terjadi konflik antara kepala daerah dengan wakilnya.

Ketua DPRD Banjar, HM Rusli juga menilai dua pilihan mekanisme itu ada kelebihan dan kekurangannya.

“Kalau mekanisme pemilihan kembali diserahkan kepada DPRD, pimpinan partai yang harus bisa mengarahkan, supaya penentuan pemimpin daerah bermanfaat untuk pembangunan daerah. Perlu dikontrol komitmennya,” tegas dia. (dia/wid/gep/has/tribunnews/fer)

Berita Terkini