Berita Viral

Sosok Sergio Lucasandro Mahasiswa Unud yang Buat Konten Dewasa Pakai AI, Edit Wajah 35 Mahasiswi

Editor: Murhan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

PELECEHAN- Sergio Lucasandro Ksatria Dwi Putra, adalah mahasiswa Universitas Udayana yang dituding melakukan pelecehan terhadap 35 mahasiswi di tempatnya kuliah. Modus yang dilakukan pelaku dengan cara mencuri foto, lalu mengeditnya menjadi konten pornografi.

BANJARMASINPOST.CO.ID - Sosok Sergio Lucasandro Ksatria Dwi Putra akhir-akhir ini  jadi sorotan.

Dia merupakan mahasiswa Universitas Udayana atau Unud melakukan pelecehan terhadap puluhan mahasiswi di tempatnya kuliah.

Memang, modus yang dilakukan pelaku terbilang sering dilakukan oleh para pelaku kejahatan.

Sergio Lucasandro Ksatria Dwi Putra memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan atau AI, lalu mencuri foto korbannya, dan mengeditnya menjadi konten porno.

Dari informasi yang ada di Unid, setidaknya sudah ada 35 mahasiswi yang diduga menjadi korban.

Sebab, ke 35 mahasiswi melapor pada rektorat telah mengalami masalah serupa, seperti yang dilakukan oleh Sergio Lucasandro Ksatria Dwi Putra.

Baca juga: Pecatan Polisi Diamuk Massa Imbas Cabuli Anak Tetangga, Kades Ungkap Kondisi Eks Kanit Reskrim Itu

Baca juga: Rendam Ibu Kandung di Lumpur Bekas Galian Semalaman, Video Aksi Keji Anak Ini Viral, Polisi Bereaksi

Ketua Unit Komunikasi Publik Unud, Ni Nyoman Dewi Pascarini mengatakan, kasus ini sudah ditangani Fakultas Ekonomi Bisnis (FEB) Unud.

Kebetulan pelaku berkuliah di fakultas tersebut. 

“Universitas saat ini menunggu pertimbangan dari Dewan Etik Senat Universitas untuk menentukan bentuk sanksi yang sesuai berdasarkan tata tertib dan kode etik sivitas akademika,” kata Dewi, Sabtu (26/4/2025).

Dewi mengatakan, Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) juga telah diminta untuk melakukan pendalaman terhadap kasus ini dan memberikan rekomendasi yang komprehensif.

Universitas, katanya, juga memastikan bahwa proses penanganan sedang berjalan secara serius dan menyeluruh, dengan menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian, perlindungan terhadap korban, serta kepastian hukum. 

“Kami mohon pengertian semua pihak agar menghormati proses yang sedang berlangsung. Kami juga terus mengawal kasus ini dengan prinsip keadilan, transparansi, dan perlindungan bagi semua pihak,” imbuhnya. 

Unud pun hingga kini belum bisa memastikan berapa jumlah korban pelecehan akibat ulah Sergio.

Akibat ulahnya, Sergio pun tidak dapat sementara waktu melanjutkan perkuliahan karena menanti sidang kode etik. 

“Yang bersangkutan tidak diperbolehkan mendapatkan layanan akademik dari perkuliahan dan layanan administrasi lainnya karena sedang menunggu proses sidang kode etik,” tutupnya.

Sosok Sergio Lucasandro

Sergio Lucasandro Ksatria Dwi Putra adalah mahasiswa semester enam di Universitas Udayana (Unud).

Ia menempuh pendidikan pada Program Studi Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis.

Informasi yang dirangkum Tribun-medan.com menyebutkan, bahwa Sergio Lucasandro Ksatria Dwi Putra merupakan alumni SMA Santa Ursula BSD.

Dalam laman LinkedIn yang kini sudah hilang, sempat tercantum bahwa ia pernah magang sebagai accounting di dua perusahaan berbeda.

Lalu, ia juga disebut-sebut senagai anggota koperasi Unud.

PELECEHAN- Sergio Lucasandro Ksatria Dwi Putra, adalah mahasiswa Universitas Udayana yang dituding melakukan pelecehan terhadap 35 mahasiswi di tempatnya kuliah. Modus yang dilakukan pelaku dengan cara mencuri foto, lalu mengeditnya menjadi konten pornografi. (LinkedIn)

Selain itu, ia juga diketahui berasal dari Kota Tangerang Selatan, Banten.

Baca juga: Mantan Jenderal Polisi Ikut Soroti Ulah Baim Wong Umbar Aib Paula Verhoeven, Kuak Satu Keanehan

Baca juga: Daftar Nama Wanita Simpanan Ridwan Kamil Telah Dikantongi Lisa Mariana, Pekerjaan Sama-sama Model

Peringatan tentang AI yang Pintar Menipu

Kecerdasan buataan (artificial intelligence/AI) dibuat agar dapat memudahkan berbagai pekerjaan. Akan tetapi, baru-baru ini peneliti dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) memperingatkan bahwa AI bisa berbalik mengancam manusia lewat tipu muslihat. 

Alasannya, AI dapat belajar dan mampu melakukan penipuan, alias upaya sistematis untuk memberi keyakinan palsu kepada orang untuk mencapai hasil berbeda dari apa yang dikatakan. 

Sebuah studi yang dilakukan oleh para peneliti MIT tersebut mengungkapkan bahwa kecerdasan buatan tipe Large Language Model (LLM) dan sistem AI lainnya dapat belajar teknik-teknik untuk mengelabui orang, misalnya manipulasi dan berbuat curang.

Dalam laporan studi yang dipubikasikan di jurnal Patterns itu, disebutkan bahwa AI yang dijadikan subyek penelitian sebenarnya tidak dengan sengaja dilatih untuk menipu. Namun, AI kerap belajar dan menggunakan penipuan sebagai sarana mencapai tujuan.

"Para pengembang AI tidak tahu pasti apa persisnya yang menyebabkan perilaku negatif di AI seperti kecenderungan untuk menipu," ujar Dr. Peter S Park, salah satu peneliti dalam studi tersebut.

"Secara umum, kami pikir kecurangan AI terjadi karena strategi itulah yang dipandang (oleh AI) paling bagus untuk memberi hasil memuaskan dalam tugas pelatihannya. Penipuan membantu mereka mencapai tujuan," imbuh Park.

AI pakar tipu muslihat

Salah satu AI yang diamati oleh para peneliti MIT adalah Cicero yang dikembangkan oleh Meta, perusahaan induk Facebook. Cicero menunjukkan perilaku menarik ketika memainkan game strategi, Diplomacy.

Meta mengeklaim bahwa Cicero adalah "AI pertama yang bisa bermain setingkat dengan manusia". Berdasarkan penelitian MIT, klaim itu ternyata ada benarnya. Cicero bahkan disebut berada di antara 10 persen pemain terbaik dalam game tersebut.

Namun, Cicero mencapai puncak dengan cara culas dan gemar menikam dari belakang. Menurut Park, Cicero membangun aliansi dengan pemain-pemain lain.

"Namun, ketika aliansi tersebut tak lagi berguna untuk mencapai tujuannya memenangkan permainan, Cicero secara sistematis mengkhianati para sekutunya," ujar Park.

Menurut studi, Meta sebenarnya berhasil membuat Cicero jadi pemain andal di game Diplomacy, tapi gagal melatihnya bermain jujur. Alih-alih demikian, para peneliti MIT menjuluki bahwa Cicero menjadi "pakar tipu muslihat".

Lain lagi kelakuan AlphaStar, AI dari DeepMind yang dimiliki oleh Google, ketika bermain game real time strategy (RTS) StarCraft 2.

AlphaStar suka memanfaatkan fog of war (area permainan yang tidak terlihat karena tidak ada unit pemain di sana) untuk berpura-pura melancarkan serangan ke satu daerah. Padahal ada serangan sebenarnya yang lebih besar ditujukan ke daerah lain.

Lalu ada juga AI lain buatan Meta, Pluribus, yang bisa sukses menggertak pemain lain dalam permainan poker sehingga menyerah (fold). Padahal, deretan kartu Pluribus sebenarnya payah, tapi sang AI sukses menakut-nakuti. 

Bisa pura-pura baik

Tipu muslihat AI tidak terbatas hanya di dalam game saja karena sistem-sistem AI lain yang "dilatih untuk bernegosiasi dalam transaksi ekonomi", menurut studi MIT, belajar untuk menyembunykan niat mereka yang sebenarnya agar mendapat keuntungan.

"Dalam masing-masing contoh ini, sistem AI belajar untuk menipu untuk meningkatkan kinerjanya dalam game atau tutas tertentu," tulis para peneliti.

Beberapa sistem AI bahkan disebut mampu berbuat curang di uji keamanan yang dirancang untuk mencegah mereka berperilaku negatif. Saat sedang diamati, AI pura-pura baik, kemudian baru mengeluarkan sifat aslinya ketika tak lagi diperhatikan.

Kemampuan AI untuk melakukan tipu muslihat tentu membuka aneka kemungkinan buruk. Untuk jangka pendek, AI bisa digunakan sebagai senjata untuk melakukan penipuan besar-besaran, menyebarkan misinformasi dan mempengaruhi pemilu, atau bahkan menanam radikalisme dan merekrut teroris. 

Jangka panjangnya dapat lebih mengerikan, sejalan dengan semakin banyaknya AI dilibatkan dalam kehidupan sehari-hari dan pengambilan keputusan. Manusia bisa sepenuhnya kehilangan kendali. 

Apa yang harus dilakukan?

Jadi, apa yang bisa dilakukan untuk memitigasi kelakuan buruk AI ini? Para peneliti MIT mengatakan hal
tersebut membutuhkan pendekatan dari berbagai sisi. Pertama, dari segi regulasi, perlu ada peraturan tentang risiko AI. Sistem AI yang mampu menipu harus diberikan perhatian dan persyaratan khusus. 

Kemudian, dari segi teknis, diperlukan metode untuk mendeteksi tipu muslihat oleh AI, serta riset lebih mendalam untuk mengurangi kecenderungan AI melakukan penipuan.

Para pembuat kebijakan, peneliti AI, dan publik mesti bersepakat dan bekerja sama agar AI bisa menguntungkan umat manusia, alih-alih dijadikan alat untuk manipulasi. 

"Sebagai masyarakat, kita perlu sebanyak mungkin waktu untuk bersiap menghadapi muslihat canggih dari produk-produk AI di masa depan," ujar Park, sebagaimana dihimpun KompasTekno dari New York Post, Rabu (15/5/2024). 

"Seiring dengan semakin berkembangnya kemampuan sistem-sistem AI dalam menipu, bahayanya terhadap masyarakat juga semakin serius," tandasnya. 

Baca juga: Setahun Baru Terendus, Oknum Polisi Jadi Dalang Perampokan Minimarket Kini Ditangkap, Ini Nasibnya

(Banjarmasinpost.co.id/Tribun-Medan.com)

 

Berita Terkini