Berita Banjarmasin

Lembaga Sensor Film Ajak Warga Banjarmasin Jadi Penyensor Mandiri di Tengah Banjir Tontonan Digital

Ketua Subkomisi Penyensoran LSF RI Hadi Artomo mengatakan upaya menjaga tontonan sehat tidak bisa hanya dibebankan kepada lembaga sensor

Penulis: Rifki Soelaiman | Editor: Irfani Rahman
Banjarmasinpost.co.id/Rifqi Soelaiman
SAMPAIKAN MATERI - etua Subkomisi Penyensoran Lembaga Sensor Film RI Hadi Artomo saat memaparkan materinya di depan sejumlah peserta yang hadir, Rabu (12/11/2025). 

BANJARMASINPOST.CO.ID, BANJARMASIN - Di tengah derasnya arus tontonan tanpa batas di era digital, Lembaga Sensor Film (LSF) Republik Indonesia menekankan pentingnya membangun budaya sensor mandiri di masyarakat.

Ketua Subkomisi Penyensoran LSF RI Hadi Artomo mengatakan upaya menjaga tontonan sehat tidak bisa hanya dibebankan kepada lembaga sensor atau pembuat film. Perlu kesadaran bersama antara pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat.

“Kalau hanya LSF yang bekerja, kami pasti kewalahan. Karena itu perlu digerakkan kesadaran masyarakat untuk menjadi penyensor bagi dirinya sendiri,” ujarnya usai kegiatan Literasi dan Edukasi Hukum Bidang Perfilman dan Penyensoran di Banjarmasin, Rabu (12/11/2025).

Menurut Hadi, kesadaran masyarakat terhadap klasifikasi usia film masih rendah. Padahal pembatasan usia bukan sekadar formalitas, tetapi bentuk perlindungan terhadap perkembangan psikologis anak dan remaja.

“Bahaya sekali kalau film 21+ ditonton anak 13 tahun. Anak seusia itu masih labil, mudah meniru dan terpengaruh,” tegasnya.

Baca juga: BREAKING NEWS - Jadi Rektor Perempuan Pertama, Nida Mufidah Resmi Pimpin UIN Antasari Banjarmasin  

Baca juga: Jadi Rektor Perempuan Pertama di UIN Antasari, Ini Komitmen Nida Mufidah

Ia juga menyoroti masih banyaknya orang tua yang mengajak anak menonton film dengan kategori usia lebih tinggi tanpa memperhatikan dampak jangka panjang.

“Menonton itu bukan cuma hiburan, tapi juga ada nilai akhlak dan moral yang harus diperhatikan,” tambahnya.

Dalam era banjir tontonan daring, mulai dari YouTube, TikTok, hingga platform streaming film, LSF kini mengubah pendekatannya dengan menekankan literasi dan budaya sensor mandiri. Artinya, masyarakat diajak untuk aktif memilah tontonan sesuai usia dan konteks.

Anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Kalimantan Selatan, Nanik Hayati, menilai pengawasan konten tidak akan berjalan efektif tanpa keterlibatan aktif pengelola media dan bioskop.

“Petugas bioskop jangan hanya menjual tiket, tapi juga harus ikut mengawasi. Ini tanggung jawab moral kepada masyarakat,” ujarnya.

Ia menjelaskan, meski fungsi pengawasan KPID dan LSF berbeda, keduanya memiliki tujuan yang sama, yakni melindungi masyarakat dari tayangan yang tidak sesuai usia.

“Kalau ada hal yang bisa disinergikan, kami siap berkolaborasi dengan LSF,” tambahnya.

Dukungan terhadap gerakan sensor mandiri juga datang dari kalangan akademisi. Rektor Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Ahmad Alim Bachri, menyebut sosialisasi semacam ini penting di tengah derasnya akses informasi bagi generasi muda.

“Generasi sekarang tidak bisa dibatasi dari arus informasi. Sosialisasi ini memberikan rambu dan arah agar mereka tahu mana film yang layak ditonton dan mana yang tidak,” ujarnya.

Ia menilai kegiatan literasi ini akan memberi dampak positif terhadap pola pikir mahasiswa dalam menyikapi perkembangan teknologi dan hiburan digital. “Dengan begitu, mereka bisa jadi penonton yang cerdas dan bertanggung jawab,” tutupnya.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved