Berita Banjarmasin

14 Puisi Dibedah ‎Empat Akademisi dan Sastrawan di Forum Penyair Muda Kalsel

‎Forum tersebut menjadi ruang dialog dan kritik sastra yang mempertemukan para penyair muda dengan para pembicara

Penulis: Mariana | Editor: Ratino Taufik
Istimewa/Rahim Arza
Empat akademisi dan sastrawan bedah 14 karya puisi dalam Forum Penyair Muda Kalimantan Selatan, event Dialektika Sastra Menara Pandang, Sabtu (13/12/2025) kemarin. 

‎BANJARMASINPOST.CO.ID, BANJARMASIN - Empat akademisi dan sastrawan, yakni HE Benyamine, Sumasno Hadi, Nailiya Nikmah, dan Dewi Alfianti, membedah sebanyak 14 karya puisi dalam Forum Penyair Muda Kalimantan Selatan. 

Kegiatan ini digelar oleh Dewan Kesenian (DK) Banjarmasin dalam rangkaian event Dialektika Sastra Menara Pandang, Sabtu (13/12/2025) kemarin.

‎Forum tersebut menjadi ruang dialog dan kritik sastra yang mempertemukan para penyair muda dengan para pembicara yang memiliki latar belakang akademik dan kepenyairan. 

‎Dalam proses pembedahan karya, para pembicara menyoroti beragam aspek, mulai dari gagasan, diksi, struktur puisi, hingga keberanian penyair muda dalam mengolah tema-tema sosial, budaya, dan kemanusiaan.

‎Akademisi Politeknik Negeri Banjarmasin (Poliban) atau penulis novel Sekaca Cempaka, Nailiya Nikmah menerangkan keindahan puisi tidak terletak pada kemewahan metafora yang klise, melainkan pada kemampuannya menggugah batin pembaca dan mengajak mereka “bernyanyi” bersama visi penyair.

‎“Indah dalam puisi adalah ketika pembaca ikut bernyanyi bersama visi yang ditawarkan penyair. Ketika kegelisahan, kecemasan, bahkan kebencian batin penyair bisa menular kepada pembaca, di situlah letak kekuatan puisi,” ujarnya.

‎Nailiya menjelaskan, subjektivitas pembaca memang tidak dapat sepenuhnya dikendalikan oleh penulis. 

Baca juga: Pedagang Berharap Dilanjutkan: Aksi Gotong-Royong Bersihkan Pasar Sentra Antasari Banjarmasin

Setiap pembaca membawa latar pengalaman masing-masing dalam menikmati karya sastra. Namun, subjektivitas itu dapat diarahkan melalui ilmu, teori, dan perangkat pembacaan yang dipelajari.

‎Pemerhati sastra, HE Benyamine menyoroti persoalan mendasar dalam karya para Penyair Muda Kalimantan Selatan saat ini, khususnya terkait literasi, kesadaran konseptual, dan cara pandang terhadap dunia yang semakin dibingkai oleh teknologi.

‎Benyamine mengutip pemikiran filsuf Jerman, Martin Heidegger. Ia menjelaskan bahwa Heidegger hidup pada masa sebelum teknologi berkembang sedemikian pesat seperti sekarang. 

Namun, justru ketika teknologi industri tumbuh begitu besar, manusia dihadapkan pada berbagai persoalan dan benturan eksistensial.

‎Heidegger, Benyamine menyebut kondisi tersebut sebagai Jemeinigkeit, yakni sebuah pertarungan hasil yang membuat manusia terjebak dalam logika kegunaannya. 

Dalam situasi itu, puisi menjadi penting sebagai ruang untuk “tinggal”, ruang kontemplasi yang memungkinkan manusia kembali pada makna keberadaan.

‎Adapun Akademisi Universitas Lambung Mangkurat (ULM), dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI), Dewi Alfianti menjelaskan bahwa menulis puisi merupakan hak setiap orang. Namun, menurutnya, terdapat perbedaan mendasar antara sekadar menulis puisi dan menyebut diri sebagai penyair.

‎“Siapa saja boleh menulis puisi. Menulis puisi bisa menjadi cara untuk mengungkapkan perasaan secara puitis, terlepas dari apakah puisinya memang puitis atau tidak,” ujar Dewi Alfianti. Ia juga tidak mempersoalkan pandangan yang menyebut bahwa apa pun dapat disebut puisi selama memang dimaksudkan sebagai puisi.

‎Menurutnya, penyair harus bekerja lebih keras dalam menciptakan puisi, tidak sekadar menumpahkan perasaan secara langsung.

‎“Penyair harus menciptakan puisi, bukan sekadar pengungkapan perasaan an sich. Ada karakteristik puisi yang mau tidak mau harus dipenuhi oleh larik-larik yang ditulis agar bisa disebut sebagai puisi yang sebenar,” jelasnya.

‎Sementara itu, Akademisi Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin, Sumasno Hadi juga menyoroti karya-karya penyair muda dari sisi pengendapan puisi, bukan sekadar slogan yang dimunculkan dalam teks. 

‎Sumasno mengungkapkan, ketika membaca buku Pesiar Tanpa Berlayar, meski tidak secara utuh sejak awal. Ia menangkap kesan bahwa sebagian tulisan masih terbebani oleh kurangnya keketatan dalam meracik fiksi. 

Akibatnya, puisi terasa terlalu longgar, kegedoran, dan belum sepenuhnya rapi. Menurutnya, masih terdapat gejolak-gejolak dalam puisi yang sejatinya belum memiliki fungsi atau perwakilan makna yang utuh.

‎“Masih ada bagian-bagian yang terasa kebesaran dan tidak terkelola dengan baik. Itu menunjukkan proses pengendapan yang belum selesai,” ujarnya.

‎Meski demikian, Sumasno menyebut ada beberapa karya yang secara personal menarik perhatiannya, di antaranya karya Hadani Had, Wildanne, dan Aluh Srikandi. 

Ia menegaskan, ketertarikan tersebut bukan berarti menafikan kualitas karya penyair lain, melainkan lebih pada preferensi sebagai pembaca. (Banjarmasinpost.co.id/Mariana)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved