30.784 Orang Jakarta Mengungsi
Daerah yang terendam banjir meliputi 564 RT, 349 RW, dan 74 kelurahan di 30 kecamatan
JAKARTA, BPOST - Jumlah pengungsi akibat banjir di sebagian wilayah Jakarta terus meningkat. Berdasar data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta, Minggu (19/1), jumlah pengungsi mencapai 30.784 orang. Sementara mereka hidup seadanya di 140 lokasi pengungsian. Jumlah pengungsi itu melonjak sekitar 200 persen dibanding sehari sebelumnya, sebanyak 10.530 orang.
Daerah yang terendam banjir meliputi 564 RT, 349 RW, dan 74 kelurahan di 30 kecamatan. Korban meninggal tetap 7 orang seperti pemberitaan BPost edisi kemarin. Meluasnya banjir dikarenakan debit air dari pintu air Katulampa Ciliwung, Bogor yang masuk Jakarta belum menurun.
Banyak kalangan menuding hujan bercurah tinggi menjadi penyebab banjir, namun disangkal Kepala Bidang Peringatan Dini Cuaca Ekstrem Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Achmad Zukri.
“Curah hujan di Jakarta pada tahun ini lebih rendah daripada 2013. Saat itu terjadi banjir yang lebih besar,” tegasnya.
Menurut Zukri, pada 2013, distribusi hujan lebih banyak di Jakarta, sementara hujan di daerah penyangga lebih kecil. Sementara pada 2014, distribusi hujan tidak merata di seluruh Jakarta, tetapi hanya Jakarta Barat, Timur, dan Selatan.
“Selain itu, hujan yang turun awal tahun ini tidak selebat 2013. Hujan sudah dicicil sejak malam tahun baru. Sementara itu, tahun lalu, hujan terjadi sekaligus selama beberapa hari berturut-turut, dengan intensitas lebat,” tegasnya.
Zukri membandingkan pantauan curah hujan oleh BMKG dari 18 titik tahun lalu dengan tahun ini pada hari saat banjir terparah. Titik pantauan yang menunjukkan penurunan adalah Tanjung Priok, Kemayoran, Pakubuwono, Halim Perdanakusuma, Cengkareng, Kedoya, Pasar Minggu, dan Lebak Bulus.
Di luar Ibu Kota, titik pantauan Gunung Mas dan Citeko yang mencakup pantauan kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat, sebagai penyumbang banjir menunjukkan bahwa curah hujan juga menurun. Adapun wilayah tetangga Jakarta yang curah hujannya meningkat adalah Depok, Dramaga, dan Citeko.
Sebelumnya, Manajer Penanganan Bencana Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Mukri Friatna juga mengatakan, penyebab banjir bukan curah hujan, melainkan banyak hutan yang beralih fungsi.
Walhi mencatat, banyak hutan yang ditebang untuk permukiman dan industri. Artinya, wadah untuk menampung hujan makin kecil. “Yang namanya volume air tetap segitu, nggak bisa berubah. Tetapi ‘gentongnya’ yang dikurangi,” kata Mukri.
Analisis Walhi itu seperti pendapat pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna. Dia menegaskan banjir dikarenakan 92 persen wilayah DKI Jakarta sudah dikonversi menjadi ‘hutan beton’. Dengan kata lain, ruang terbuka hijau (RTH) sebagai ruang resapan hanya tersisa 8 persen.
Menurut Yayat, kondisi wilayah yang terbangun seluas 92 persen dari total luas wilayah DKI Jakarta 661,52 kilometer persegi, patut diwaspadai. Ini artinya, Jakarta memiliki masalah serius mengenai tata ruang. Lahan terbuka terus tergerus dan kian menyusut akibat masifnya pembangunan fisik, terutama sektor properti. Akibatnya, Jakarta tidak mampu menampung air hujan dan luapan air sungai.
“Publik sejatinya sudah mengetahui bahwa masalah utama banjir di Jakarta hanya dua, yakni buruknya kondisi struktural, yakni tata ruang; dan kondisi non-struktural, yakni budaya dan perilaku masyarakat yang tidak kunjung berubah dalam membuang sampah dan kotoran lainnya,” tegasnya.
Jakarta, lanjut Yayat, sudah tidak sanggup lagi menampung ledakan penduduk. Tak mengherankan jika daya dukung lingkungan kian hari terus merosot.
Pembangunan properti, terutama hunian jangkung (apartemen) dan klaster-klaster tertentu secara sporadis, telah menggerus ruang terbuka Jakarta guna mengakomodasi permintaan. (tribunnews/kps/dtn)