BPJS, RS dan Honor Dokter
Ribut-ribut soal kecilnya honor dokter dalam sistem pelayanan kesehatan kapitasi di era BPJS
Oleh: Pribakti B
Dokter RSUD Ulin Banjarmasin
Ribut-ribut soal kecilnya honor dokter dalam sistem pelayanan kesehatan kapitasi di era BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) ini, membuat saya harus berdiskusi dengan seorang dokter senior. Saya bertanya, bagaimana kita menentukan jumlah yang pantas untuk honor dokter? Jawabannya ternyata tidak sederhana.
“Honorarium berasal dari kata honor, artinya rasa hormat dan penghargaan atas prestasi seseorang. Jadi, honorarium adalah bagian dari ekspresi rasa hormat atas reputasi dokter. Honorarium adalah satu kesepakatan nilai penghargaan yang kita terima atas prestasi yang kita berikan pada pasien. Saat datang, seharusnya pasien tahu reputasi dokter itu dan otomatis dia sepakat atas honornya. Kitalah yang menentukan nilai penghargaan itu. Tidak bisa itu ditentukan oleh orang lain, karena itu adalah prestasi kita. Camkan, jumlah honorarium tidak etis dibicarakan. Mengapa? Itu soal penghargaan terhadap prestasi orang yang dihormati, sangat personal.”
Wuih, sulit banget bicara dengan orang pintar, panjang lebar dan sulit dipahami. Akibatnya, jadi tidak gampang menyimpulkannya. Tapi yang jelas, saya amat tidak sepakat. Mengapa? Semua remang-remang. Ada arogansi dan aroma otoriter di sana (baca: BPJS). Tidak bisa alasan etik dan rasa hormat membuat semua jadi remang-remang. Karena, remang-remang sering dekat dengan kejahatan. Seperti contohnya (maaf), dengan adanya BPJS bikin jadi semakin pinter “ngakali”, diagnosa di-upgrade, terapi diminimalis dan komplikasi diperberat, lama rawat nginap dipersingkat, pasien harus bolak balik kontrol dan obat dibilang habis, akibatnya yang menderita tetap saja pasien.
Padahal menurut kamus, upah (wages) adalah jumlah bayaran tertentu yang diterima oleh pekerja sesuai kontrak kerja dalam hitungan jam, hari, atau satu bentuk pekerjaan. Gaji (salary) adalah bayaran tertentu yang diterima regular atas bekerjanya di satu institusi. Honorarium adalah imbalan atas prestasi dan penghargaan yang diberikan atas suatu jasa, tanpa ada ketentuan jumlah. Jadi, apa dan berapa imbalan yang diterima sepenuhnya tergantung pada berapa nilai yang dipersepsikan si penerima jasa atas jasa yang diterima.
Tidak ada unsur paksaan di sini. Bahkan, justru penerima jasalah yang menjadi sang penentu nilai prestasi itu. Contoh, tidak ada satu ketentuan mengenai berapa jumlah honorarium dari seorang penceramah. Bila pengundang puas, dia memberi nilai lebih dan jumlah imbalannya pun tentu tinggi. Lantas apakah dia yang menyebut imbalan jasanya?
Sebagai honorarium harus bersikap pasif. Tidak boleh mematok harga? Benar, seharusnya demikian! Mengapa? Sebab, dia telah memilih hidup atas dasar nilai rasa hormat. Tentu orang lainlah yang menentukan besaran rasa hormat itu.
Bagaimana kalau dia, si pemberi jasa, akan menentukan imbalannya sendiri? Boleh saja, tetapi saat itu dia tidak memilih nilai rasa hormat sebagai yang utama. Sebab, sesungguhnya tarif identik dengan tarif usaha jasa biasa pula dan harus jelas di awal. Tidak bisa lagi si dokter meminta rasa hormat menjadi dasar ukuran harga. Mengapa? Pembeli membeli sepenuhnya karena didasari oleh selera dan kebutuhan, bukan rasa hormat! Hukum yang berlaku: “Ada uang, ada barang”.
Dengan logika tadi, penceramah, dokter, atau profesi lain boleh saja menentukan tarif semaunya. Siapa yang mau atau mampu membeli, itu soal lain. Pasarlah yang bicara. Keterkenalan, kelangkaan, atau kemendesakan menentukan harga. Di sana hukum supply-demand sepenuhnya berlaku.
Pasar menghormati hak setiap orang untuk memilih, membeli, atau tidak membeli. Semua sesuai dengan nilai dan persepsi yang ditetapkan calon pembeli. Juga si penjual di pasar. Dia bebas menentukan tarif, berusaha sekuatnya membangun persepsi merebut pasar. Semua sah-sah saja.
Inilah ideologi kapitalis yang menjadi roh di semua bidang kehidupan di negeri ini. Coba lihat di praktik dokter, hukum pasar jelas terlihat. Dokter terkenal diantre pasiennya yang berjejer dari sore hingga menjelang subuh, tarifnya aduhai.
Di sisi lain, banyak dokter yang tersingkir. Bahkan banyak dokter yang penghasilannya begitu kecil, di bawah penghasilan tukang cukur. Benar memang harus diakui sistem pasar selalu ada pemenang dan ada yang tersingkir.
Yang menjadi masalah, nanti pada Januari 2015, Rumah Sakit (RS) dan dokter asing akan hadir. Era akan berubah. Dengan perangai korporasi yang tangguh dan kompetitif, RS-dokter asing hadir siap tempur. Bayangkan, betapa dahsyatnya perang dagang layanan kesehatan nanti. Lantas, siapa si pemenang dan siapa yang tersingkir? Ironisnya, semua terjadi di atas penderitaan manusia Indonesia dan di negerinya sendiri. Inilah kesalahan sejarah terbesar yang dibuat oleh para elite negeri ini!
Gagal beli dan gagal jual dalam jumlah besar layanan kesehatan berakibat hebat: kebakaran sosial. Itulah komplikasi serius dari sistem kapitalis, instability. Kehadiran pasar bebas membuat negeri ini memiliki dua ruang. Ruang terhormat untuk yang mampu berkompetisi dan ruang kumuh untuk yang tersingkir.
Nah, lalu di ruang mana BPJS-dokter lokal nanti berada? Profesor Laksono Trisnantoro menegaskan bahwa konsep Jaminan Pengaman Sosial (JPS) di negara yang berbasis pasar hanyalah merupakan sistem reaktif yang dibentuk karena krisis. Itulah alasan SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional)-BPJS dipaksa harus hadir, Januari 2014 ini, sebelum pintu asing dibuka. Jelas, bukan untuk membangun bangsa, hanya sebagai pemadam kebakaran.
Menurut Profesor UGM itu, JPS adalah konsep baru yang belum mengakar, akan sulit diterapkan. Tanpa persiapan cermat, apalagi amburadul, SJSN-BPJS hanyalah fatamorgana. BPJS hanya membangun citra, seolah-olah negara bertanggung jawab atas rakyatnya di saat perang pasar hadir. Kata-kata “jaminan semesta” kelak hanyalah merupakan janji yang kejam.
Bila Anda jeli membaca UU No. 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran, UU No. 36 tentang Kesehatan dan 44/2009 tentang Rumah Sakit, serta Permenkes yang menjadi aturan detailnya, jelas RS lah kini yang menjadi sang penentu kualitas dan harga. Si pembayar, asuransi swasta atau BPJS, hanya berurusan dengan rumah sakit, bukan dengan dokter. Artinya, suka atau tidak suka, dokter adalah milik RS. Hubungan Dokter-RS, identik dengan hubungan tenaga kerja pada umumnya: “buruh-majikan”. Di saat dokter lokal tidak lagi boleh memasang tarif sendiri, apakah istilah yang tepat untuk imbalan dokter: upah, gaji, atau honorarium? Pertanyaan ini harus dijawab! (*)