Opini
Cyberbullying: Luka Digital yang Tak Terlihat
Cyberbullying atau perundungan daring bukan hanya persoalan komentar jahat di dunia maya, tetapi bentuk kekerasan psikologis yang meninggalkan luka
Oleh: Dewi Setya Paramitha, Ns., M.Kep
Dosen Keperawatan di Universitas Muhammadiyah Banjarmasin
BANJARMASINPOST.CO.ID - NEIRA, siswi kelas dua SMP yang tampak sempurna di sekolah, hidupnya hancur ketika ada video yang menampilkan pertengkarannya dengan temannya. Video tersebut menjadi viral karena mendapatkan banyak komentar dan hujatan yang ditujukan kepadanya.
Neira mengalami tekanan psikologis, menutup diri, dan kehilangan semangat hidup. Kisah tersebut adalah cuplikan dari film berjudul “Cyberbullying” yang tayang di berbagai kota di Indonesia yang baru tayang 23 Oktober 2025 lalu.
Masih pada bulan yang sama, tanggal 10 Oktober 2025 lalu kita memperingati Hari Kesehatan Mental sedunia. Sebuah momen refleksi tentang bagaimana kondisi jiwa anak dan remaja saat ini menghadapi dunia yang serba digital.
Data Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menyebutkan lebih dari 48 persen pelajar di Indonesia mengaku pernah mengalami cyberbullying atau perundungan daring. Angka itu setara dengan satu dari 2 anak di setiap kelas. Anak-anak terluka bukan oleh tangan, tetapi oleh kata-kata digital yang tidak bisa dihapus.
Kekerasan tidak lagi terjadi di halaman sekolah, tetapi di ponsel mereka sendiri. Saat layar ponsel menjadi arena kekerasan baru, pertanyaannya bukan lagi siapa pelaku atau korban, melainkan siapa yang melindungi anak-anak kita dari dunia digital yang tanpa batas ini?
Cyberbullying atau perundungan daring bukan hanya persoalan komentar jahat di dunia maya, tetapi bentuk kekerasan psikologis yang meninggalkan luka panjang pada anak dan remaja.
Menurut UNICEF korban sering mengalami stress, depresi, penurunan prestasi belajar, gangguan tidur, bahkan keinginan bunuh diri. Dampaknya tidak hanya dirasakan individu, tetapi juga mempengaruhi lingkungan sekolah dan keluarga karena suasana belajar menjadi tidak aman.
Komisi Perlindungan Anak di Indonesia (KPAI) melaporkan bahwa sepanjang 2023 terdapat 3.800 kasus perundungan, hampir separuh diantaranya terjadi di sekolah dan pesantren. Pada tahun 2024 KPAI menerima 2.057 pengaduan terkait perundungan anak.
Data menunjukan bahwa 26 persen korban adalah siswa sekolah dasar (SD), disusul oleh 25 persen siswa sekolah menengah pertama (SMP), dan 18,75 persen siswa sekolah menengah atas (SMA). Fakta ini memperlihatkan bahwa anak-anak pada usia awal pendidikan menjadi kelompok rentan.
Menurut KPAI perundungan daring yang sering terjadi pada anak dan remaja di Indonesia berupa ejekan, penyebaran foto tanpa izin, atau ancaman melalui media sosial. Banyak kasus tidak dilaporkan karena dianggap hal sepele atau bagian dari “candaan”.
Selain itu berdasarkan National Center for Missing and Exploited Children (NCMEC), selama empat tahun terakhir terdapat 5.566.015 laporan kasus pornografi anak dari Indonesia, menjadikan Indonesia sebagai negara dengan jumlah laporan tertinggi keempat di dunia dan kedua di kawasan ASEAN, dan sekitar 80.000 anak di bawah 10 tahun terpapar judi online.
Data ini bukan sekadar permasalahan teknologi, tetapi juga bicara isu sosial yang kompleks, terutama kelompok rentan seperti anak-anak.
Baca juga: Dua Remaja Melapor Dikeroyok Pria Berseragam Polisi di Martapura, Korban Mengalami Luka dan Trauma
Adapun beberapa faktor penyebab utama yaitu, pertama kurangnya literasi digital dan empati daring. Anak-anak menggunakan media sosial tanpa memahami etika komunikasi digital. Kedua, minimnya pengawasan dan pendampingan dari orang dewasa.

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.