Opini

Putuskan Rantai Infeksi Sanitasi Anemia

Indonesia saat ini tengah menghadapi tantangan serius dalam pembangunan sumber daya manusia, terutama pada generasi anak-

Editor: Edi Nugroho
dokumentasi banjarmasinpost.co.id
drg. Sisca Hetiutami, M.Kes Dokter Gigi di Kabupaten Tanahlaut 

drg. Sisca Hetiutami, M.Kes
Dokter Gigi di Kabupaten Tanahlaut

BANJARMASINPOST.CO.ID-Indonesia saat ini tengah menghadapi tantangan serius dalam pembangunan sumber daya manusia, terutama pada generasi anak-anak. Salah satu masalah klasik yang terus membayangi adalah anemia.

Data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) Tahun 2023 menunjukkan bahwa 16,3 persen anak-anak Indonesia usia 5-14 tahun mengalami anemia. Anemia berpengaruh besar terhadap tumbuh kembang, daya tahan tubuh, kemampuan belajar, dan produktivitas jangka panjang.

Anemia dipandang sebagai masalah gizi, khususnya kekurangan zat besi. Program penanggulangannya fokus pada pemberian tablet tambah darah, edukasi konsumsi pangan kaya zat besi, dan fortifikasi tepung terigu. Langkah ini sangat tepat, akan tetapi ada faktor lain yang membayangi kejadian anemia pada anak-anak.

Pertama, infeksi bakteri yang jadi musuh tersembunyi penyerapan gizi. Anak-anak Indonesia, khususnya yang tinggal di lingkungan padat dengan sanitasi buruk sangat rentan terpapar bakteri enterik seperti Escherichia Coli, Shigella, Salmonella, dan Helicobacter Pylori yang dapat menyebabkan diare, disentri dan demam tifoid.

Baca juga: Evaluasi MBG

Baca juga: Giliran Personel Polres Tanahlaut Dirazia di Pintu Gerbang Kantor Kepolisian, Dicegat Propam

Paparan ini tidak selalu menyebabkan diare yang mudah dikenali gejalanya. Sebaliknya, banyak anak mengalami infeksi kronik yang tidak bergejala tetapi menyebabkan peradangan usus halus jangka panjang. Peradangan ini merusak struktur mikroskopik vili usus yaitu “jari-jari” kecil tempat penyerapan nutrisi terjadi. Kondisi ini dikenal sebagai enteropati lingkungan. Akibatnya, kemampuan usus untuk menyerap zat gizi mikro seperti zat besi, zinc, dan vitamin menurun drastis.

Kedua, sanitasi buruk menjadi akar paparan infeksi yang tak kunjung usai. Sanitasi yang buruk merupakan faktor kunci yang sering diabaikan dalam diskusi anemia. Akses air bersih terbatas, perilaku buang air besar sembarangan, tempat sampah terbuka, dan kebiasaan cuci tangan yang rendah menciptakan lingkungan yang “kaya” bakteri. Paparan terhadap bakteri berlangsung berulang-ulang setiap hari, tanpa disadari memicu enteropati lingkungan dan mengganggu absorpsi zat gizi.

Ketiga, anemia anak. Ini berdampak jangka panjang namun sering terabaikan. Otak anak yang sedang tumbuh memerlukan pasokan oksigen dan zat besi yang cukup. Bila kebutuhan ini tidak terpenuhi, dampaknya mengganggu konsentrasi, penurunan prestasi belajar, dan potensi produktivitas rendah saat dewasa. Selain itu, anak yang anemia juga memiliki daya tahan tubuh lebih lemah, sehingga mudah jatuh sakit. Setiap infeksi baru akan memperburuk penyerapan zat besi, menciptakan lingkaran “setan” antara infeksi–anemia–infeksi.

Dalam konteks pembangunan nasional, anemia pada anak berimplikasi pada kualitas sumber daya manusia jangka panjang. Suplementasi zat besi tidak akan efektif jika usus anak dalam kondisi sakit (meradang dan penuh bakteri). Pemberian tablet Fe pada anak dengan enteropati lingkungan ibarat menuang air ke ember bocor.

Pencegahan infeksi dan perbaikan sanitasi adalah kunci pencegahan anemia. Bukti ilmiah menunjukkan bahwa intervensi sanitasi dan higiene yang baik mampu menurunkan kejadian enteropati lingkungan dan memperbaiki penyerapan zat gizi. Sebagai contoh Program Water, Sanitation, and Hygiene (WASH) telah terbukti efektif di beberapa negara dalam menurunkan kejadian diare kronik, memperbaiki pertumbuhan anak, dan menurunkan anemia. Intervensi mendasar dan sederhana seperti akses air bersih rumah tangga, cuci tangan dengan sabun di lima waktu penting, penggunaan jamban sehat, dan penyimpanan air dan makanan secara higienis telah menunjukkan dampak signifikan terhadap kesehatan anak bila dilakukan konsisten.

Pendekatan terpadu: Gizi, Infeksi, dan Lingkungan. Pendekatan satu dimensi yakni hanya fokus pada pemberian tablet Fe tidak akan cukup. Tiga komponen yang harus berjalan bersama adalah: Perbaikan status gizi dengan suplementasi Fe dan fortifikasi pangan, promosi konsumsi pangan lokal kaya zat besi dan vitamin C, edukasi ibu; Pengendalian infeksi melalui imunisasi, pengobatan diare dan cacingan, eradikasi Helicobacter pylori bila diperlukan, serta peningkatan daya tahan tubuh anak; Peningkatan sanitasi dan perilaku higiene dengan akses air bersih, jamban sehat, edukasi cuci tangan dan pengelolaan limbah.

Anemia adalah masalah gizi, infeksi, dan lingkungan yang saling terkait erat. Pemerintah, tenaga kesehatan, dan masyarakat harus mengubah cara pandang. Menyembuhkan anemia anak bukan hanya soal memberi zat besi, tapi juga soal menyembuhkan usus dan membersihkan lingkungan tempat mereka tumbuh. Dengan pendekatan terpadu yang melibatkan sektor kesehatan dan pendidikan kita tidak hanya akan menurunkan angka anemia, tetapi juga membangun fondasi generasi Indonesia yang sehat, cerdas, dan produktif. (*)

 Anemia adalah masalah gizi, infeksi, dan lingkungan yang saling terkait erat. Pemerintah, tenaga kesehatan, dan masyarakat harus mengubah cara pandang. Menyembuhkan anemia anak bukan hanya soal memberi zat besi, tapi juga soal menyembuhkan usus dan membersihkan lingkungan tempat mereka tumbuh. Dengan pendekatan terpadu yang melibatkan sektor kesehatan dan pendidikan kita tidak hanya akan menurunkan angka anemia, tetapi juga membangun fondasi generasi Indonesia yang sehat, cerdas, dan produktif.

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Aneh Tapi Waras

 

Politik Bansos

 

Mengejar Syafaat

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved